[ad_1]
Sumber gambar, Alyaa Alhadjri
Suasana Pemilu 2024 bagi para WNI di Gedung WTC, Kuala Lumpur, Minggu (11/02).
Sejumlah warga negara Indonesia di beberapa negara tidak bisa berpartisipasi dalam Pemilihan Umum 2024. Ada yang karena kesalahan sendiri, tapi ada pula yang mengaku sudah mendaftar tetapi tidak bisa mencoblos. Di mana letak kesalahannya?
Semestinya ini menjadi pemilu ketiga bagi Lia Ratna, 30 tahun, walau kali ini dia berdomisili di Papua Nugini. Namun, kenyataan berkata lain.
“Aku tidak bisa nyoblos. Padahal udah didaftarin. Katanya karena enggak ada surat suara lebih,” ujar Lia kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Senin (12/02).
Lia, yang memegang KTP Denpasar, pindah ke Kota Lae, Papua Nugini, pada 29 Oktober 2023 karena diterima bekerja di sana. Pada bulan Desember, teman Lia yang sudah lama tinggal di Kota Lae bertanya apakah dirinya mau ikut Pemilu 2024.
Lia menanggapi tawaran ini dengan antusias dan temannya itu pun meminta dia mengirim salinan KTP untuk pendaftaran. Lia tidak mendapat kabar apa-apa setelahnya. Dalam pikirannya: dirinya sudah terdaftar.
Pada 21 Januari 2024, Lia memperoleh informasi dari sebuah grup WhatsApp untuk orang-orang WNI di Kota Lae bahwa Pemilu 2024 akan dilaksanakan pada 27 Januari 2024 di Hotel Morobe. Para WNI yang akan berpartisipasi diminta mengisi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor paspor dalam form pendaftaran.
Pada saat inilah Lia menyadari bahwa namanya tidak ada dalam daftar pemilih.
“Setelah ditanya, katanya surat suara enggak cukup dan terlambat buat aku daftar. Aku tanya ke teman-ku yang sudah lebih lama tinggal di sini. Katanya nama dia juga enggak terdaftar, enggak tau kenapa,” keluh Lia.
Lia tetap memberanikan diri untuk mendatangi Hotel Morobe pada 27 Januari – supaya dia bisa sekalian berkenalan dengan WNI-WNI lainnya dan mungkin dengan perwakilan diplomatik Indonesia.
Namun, menurut dia, tidak ada orang Kedutaan Besar Indonesia yang hadir. Adapun surat suara serta informasi mengenai tata cara pemilu diserahkan kepada orang kepercayaan setempat.
“Hampir setengah surat suara tidak terpakai karena ada yang tidak datang. Tapi kami yang tidak masuk list ini tetap tidak boleh pakai surat suara itu,” papar Lia.
Menurut Lia, petugas setempat mengatakan kertas-kertas suara yang belum terpakai akan dibawa ke Port Moresby. Lia pun disarankan untuk mencoblos pada Minggu (11/02) di Port Moresby.
Bagi Lia, pergi ke ibu kota Papua Nugini memberatkan karena harga tiket yang cukup tinggi. Dia juga tidak bisa pulang ke Denpasar karena pekerjaan dan juga tingginya harga tiket pesawat.
Lia, yang cukup aktif dalam meneliti siapa saja yang akan dipilihnya pada Pemilu 2024, mengaku “kecewa dan sedih”.
“Aku jelas kaget karena bagaimanapun ini pertama kalinya aku enggak bisa berpartisipasi dalam pesta rakyat. Aku juga ada perasaan khawatir, soalnya namaku terdaftar di Denpasar yang sudah fixed jadi surat suara kosong. Aku khawatir surat suaraku akan dimanfaatkan untuk kecurangan,” imbuhnya.
Jumlah WNI di Papua Nugini yang terdata di KBRI sebanyak 1.317 orang, menurut kantor berita Antara pada 15 Januari 2024.
Bagaimana dengan di Belanda?
Di Den Haag, Belanda – hampir 14.000 kilometer dari Papua Nugini — harapan Cinta, 20 tahun, untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024 pada Sabtu (10/02) terpaksa pupus.
“Saya dan teman-teman tidak bisa memilih karena masih registrasi atau lokasi DPT [Daftar Pemilih Tetap] masih di Jakarta,” tutur Cinta.
Menurut Cinta, petugas di Den Haag memperkirakan 15.000 pemilih akan datang tetapi hanya ada tujuh Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang disiapkan.
Proses pemilihan pun berlangsung berjam-jam. “Ada teman saya yang sampai di Den Haag jam 12 [siang] dan belum pulang sampai jam 19.30 malam,” terang Cinta.
Suasana pemilihan umum 2024 di Den Haag, Belanda, Sabtu (10/02).
Cinta mengakui dirinya dan teman-temannya salah karena tidak melakukan transfer DPT ke Den Haag.
Namun, yang paling membingungkan Cinta adalah informasi yang diberikan panitia.
“Semua panitia memberikan instruksi yang berbeda,” ujar Cinta.
Bagaimana dengan di Jepang?
Di Jepang, Hendra Hermawan, 38 tahun, seorang karyawan perusahaan elektronik, mengaku terlambat mendapatkan informasi mengenai cara memilih di luar negeri.
Hendra mengikuti pelatihan di Jepang sejak Januari 2023. Dia mengaku tidak mendapatkan informasi mengenai pemilu dari media sosial KBRI atau KJRI karena tidak mengikuti kedua akun tersebut.
“Saya dan teman-teman tidak mengetahui kalau di Jepang itu bisa memilih dengan menggunakan pos, jadi tidak dapat menggunakan suara dalam pemilu ini,” ujar Hendra yang tinggal di Hirakata, Osaka, kepada wartawan Sri Lestari yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Hendra mengatakan ada 32 orang karyawan asal Indonesia dari perusahaan yang sama dengannya.
Hendra sejatinya bisa melakukan pencoblosan di salah satu TPS di Jepang, yaitu di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Osaka.
“Saya baru mengetahui pada hari Minggu, 11 Februari, setelah lihat Instagram bahwa ada pemilu di Jepang. Saya pikir sama dengan di Indonesia tanggal 14 Februari. Saya juga pikir jam buka TPS itu sama dengan di Indonesia hanya sampai jam makan siang saja. Menyesal juga tidak bisa datang memilih, sayang suaranya karena lumayan banyak ini.”
Sumber gambar, Sri Lestari
Suasana pencoblosan di TPS di Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) Tokyo, Minggu (11/02).
Di Jepang, para pemilih bisa melakukan pencoblosan di TPS di Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) Tokyo pada pukul 08.00 hingga 18.00 JST dan di TPS di KJRI pada pukul 08.00-16.00 JST.
Bagaimana dengan di Malaysia?
Di Malaysia, Pemilu 2024 dilaksanakan di gedung ikonik WTC Kuala Lumpur, pada Minggu (11/02).
Saat pemungutan suara berlangsung dari pukul 11.00 hingga 13.00 siang waktu setempat, WNI yang memilih begitu banyak sehingga sempat terjadi aksi saling dorong antara WNI.
Ini memang yang pertama kalinya Pemilu Indonesia di Malaysia dilaksanakan di WTC. Sebelumnya pemilu Indonesia dilangsungkan di tiga tempat: KBRI Kuala Lumpur, Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, dan Rumah Duta Besar Indonesia untuk Malaysia.
Sumber gambar, Alyaa Alhadjri
Di Malaysia, Pemilu 2024 dilaksanakan di gedung ikonik WTC Kuala Lumpur, pada Minggu (11/02).
Novhani Tamara, 34 tahun, seorang ibu rumah tangga, mengatakan sempat terjadi aksi saling dorong dan sempat ada yang berteriak-teriak mengamuk karena selama satu jam antrean masuk gedung tidak bergerak.
“Ada ibu-ibu di hadapan saya yang jatuh, diinjak orang-orang, dan panitia tidak bisa nolongin. Mereka cuma teriak ‘Jangan! jangan!’ Karena jumlah mereka [panitia] sedikit banget,” ujar Novhani kepada wartawan Alyaa Alhadjri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Novhani juga mengaku minim informasi. Dia harus mencari-cari sampai mendapat kabar tentang penyelenggaraan Pemilu di WTC Kuala lumpur melalui Instagram.
Pemilu di Malaysia sendiri mendapat sorotan, terutama dari LSM Migrant Care.
Sumber gambar, Alyaa Alhadjri
Pemilu Indonesia di Gedung WTC, Kuala Lumpur, sempat diwarnai aksi saling dorong.
Aktivis LSM Migrant Care, Siti Badriyah, kepada BBC News Indonesia mengaku ada temuan-temuan yang mengindikasikan potensi kecurangan pemilu di Malaysia.
“Yang saya temukan di Kuala Lumpur, ada nomor-nomor paspor lama yang masuk ke DPT, padahal para pemiliknya sudah perpanjang paspor dan dapat nomor paspor baru,” ujar Siti.
Mengenai penyelenggaraan pemilu di Malaysia, Titi Anggraini, dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan dirinya memperoleh informasi bahwa banyak pemilih mengalami kebingungan karena mengaku belum mendapatkan informasi atau sosialisasi terkait proses atau alur pemungutan suara di TPSLN di Pemilu 2024.
“Bahkan sejumlah pemilih tidak tahu cara menscan barcode cekdptonline.kpu.go.id. Sayangnya tidak terdapat petugas penerangan atau sosialisasi di pintu masuk WTC yang bisa menjadi pusat bantuan bagi pemilih,” ujar Titi kepada BBC News Indonesia.
Di mana letak kesalahannya?
Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, menilai banyak warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri yang kehilangan hak pilih akibat buruknya daftar pemilih dan pelayanan saat di TPS.
“Salah satu faktor penghambat proses adalah ketika pelayanan tidak maksimal, dimulai ketika antre pendaftaran dan semacamnya,” ujar Kaka kepada BBC News Indonesia.
“Kalau di dalam negeri kan memang tidak terkonsentrasi di satu tempat sehingga kalau misalnya ada kericuhan atau kekeliruan, tidak akan menular ke TPS lain. Tapi kalau hal seperti itu terjadi di satu central polling station, potensi saling mempengaruhi situasi jadi semakin besar dan itu juga tidak terantisipasi,”imbuhnya.
Di lain pihak, Muhammad Ihsan Maulana, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyayangkan permasalahan administrasi yang masih terjadi pada Pemilu 2024 di tengah kemajuan sistem informasi teknologi.
“Ini menggambarkan beberapa hal. Pertama, teknologi yang digunakan tidak dapat dijalankan dengan efektif karena masih ada kendala-kendala administratif dan tidak memudahkan bahkan menghilangkan hak suara pemilih,” kata Ihsan kepada BBC News Indonesia.
Yang kedua, sambung Ihsan, hal ini menggambarkan masih minimnya sosialisasi soal teknis kepemiluan yang berdampak pada pemilih kurang mendapatkan informasi soal teknis administrasi kepemiluan.
“Hal ini tentu sangat merugikan pemilih karena tidak dapat menggunakan haknya yang dijamin oleh Konstitusi,” ujar Ihsan.
Perludem pun mengkritik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan (Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia). Ihsan menilai KPU “gagap” dalam memitigasi persoalan administrasi Pemilu 2024 kendati regulasinya masih sama dengan Pemilu 2019.
“Harusnya KPU memiliki backup plan untuk teknis administrasi pemilu, demi menjaga hak dan suara pemilih,” ujar Ihsan.
“Ini juga menjadi kritik bagi Bawaslu karena gagal mengawasi teknis administrasi tahapan pemilu yang berdampak pada terhambatnya pemilih dalam menggunakan haknya.”
Sumber gambar, Alyaa Alhadjri
Titi Anggraini, dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan dirinya memperoleh informasi bahwa banyak pemilih mengalami kebingungan karena mengaku belum mendapatkan informasi atau sosialisasi terkait proses atau alur pemungutan suara di TPSLN di Pemilu 2024.
Saat ditanya mengenai solusi yang bisa dilakukan KPU dan Bawaslu, Ihsan mengatakan kedua lembaga itu harus secara masif menyebarkan informasi kepemiluan untuk pemilih di luar negeri.
“Penyelenggara pemilu harus membuat mitigasi risiko terhadap hal-hal seperti ini. Dalam aspek pengawasan bawaslu harus lebih berani mengoreksi teknis administrasi pemilu yang tidak sesuai aturan dan tidak melindungi hak pilih pemilih di luar negeri,” tandasnya.
Hal senada diutarakan Titi Anggraini, dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dia menyarankan sosialisasi pemilu melibatkan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi masyarakat Indonesia yang ada di suatu negara harus intensif dilakukan.
“Termasuk juga penyebaran atau diseminasi melalui media sosial secara masif,” ujarnya.
Apa kata KPU, Bawaslu, dan Kemlu soal ini?
Kepada BBC News Indonesia, Ketua Divisi Teknis KPU, Idham Holik, mengakui bahwa memang ada pemilih yang tidak dilayani oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) Den Haag.
Ini, kata dia, dikarenakan yang bersangkutan adalah pemilih asal dalam negeri yang tidak memproses perpindahan pemilih sesuai dengan peraturan yang diberlakukan.
“Idealnya yang bersangkutan harusnya mendapatkan surat keterangan pindah memilih paling lambat H-30 sebelum hari pemungutan suara di dalam negeri,” ujar komisioner KPU tersebut.
Menurut Idham, dari tujuh Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (TPSLN) yang dikelola di Den Haag pada Sabtu (10/02), sampai dengan batas waktu akhir pemungutan suara yakni 19.00 waktu setempat, surat suara masih banyak yang tersisa.
“Pengurusan keterangan pindah memilih dapat dilakukan sampai dengan hari pemungutan suara di luar negeri itu hanya diperbolehkan untuk pemilih yang telah terdaftar di dalam DPT LN sebagaimana Pasal 216 UU No. 7 Tahun 2017,” tegasnya.
Khusus untuk kasus di Malaysia, Idham mengatakan pihaknya akan melakukan investigasi. Menurut data yang diperoleh KPU, ada 1.972 surat suara yang dicoblos oleh orang yang tidak berwenang.
”Kami masih menunggu informasi lebih lanjut dari hasil pendalaman atau penelaahan Panwaslu Kuala Lumpur,” ujar Idham seperti dilansir Kompas.id
Sementara anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Lolly Suhenty, mengatakan pihaknya tengah mengumpulkan informasi terkait pencoblosan surat suara di Kuala Lumpur.
”Ketua Bawaslu [Rahmat Bagja] bertolak ke Malaysia untuk memimpin penelusuran kejadian itu,” tuturnya kepada Kompas.id
Lalu Muhammad Iqbal, selaku juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, menegaskan bahwa Kemlu dan Perwakilan RI bukan penyelenggara.
”Tapi sebagai bentuk tanggung jawab moral, Menlu [Retno Marsudi] minta semua Perwakilan RI untuk ikut memantau dan mendukung kesuksesan pemilu di luar negeri. Sejauh pantauan kami, semua berlangsung kondusif. Ada saja masalah muncul di sana sini, tapi dengan dukungan Perwakilan RI, PPLN di masing-masing negara dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik.
”Tidak mudah memang menyelenggarakan pemilu di luar negeri. Karena kita harus menghormati hukum dan aturan setempat. Itulah sebabnya dukungan dan fasilitasi oleh Perwakilan RI dibutuhkan,” paparnya.
Tidak mau apatis
Cinta, di Den Haag, mengatakan bahwa sekalipun kecewa, dia mengakui kesalahannya dan masih akan mencoba untuk mendaftar apabila Pemilu 2024 sampai dua putaran.
“Ini tentunya menjadi learning experience,” ujar Cinta.
Sementara Lia Ratna di Papua Nugini berharap masih bisa berpartisipasi apabila Pemilu 2024 ini akan berlanjut ke putaran kedua.
Meski berat, Lia tidak mau apatis dan golput.
“Sebenarnya gampang buat aku dan orang-orang [di] luar negeri [lainnya] untuk menjadi apatis atau golput. Karena bagaimanapun juga, aku enggak berkontribusi pajak apa-apa ke Indonesia selama aku kerja di luar sini. Tapi berat untuk enggak peduli, di negara kan kita enggak sendiri. Banyak orang yang akan sangat terpengaruh kalau kita salah pilih nanti,” jelasnya.
[ad_2]
Source link