[ad_1]

Read the English version here

Teknologi telah menjadi begitu umum di tempat kerja, sehingga sebagian besar pekerja kini diharapkan memiliki keterampilan digital dasar, sementara mereka yang bekerja di bidang teknologi harus selalu mengasah dan meningkatkan kemampuan mereka.

AI semakin mendesak kebutuhan akan keterampilan tersebut.

Sebanyak 90% pemimpin di Asia Tenggara mengatakan bahwa karyawan mereka membutuhkan keterampilan baru agar siap menghadapi pertumbuhan AI, menurut laporan tahunan Work Trend Index Microsoft yang diluncurkan pada bulan Mei tahun lalu, yang menyurvei 31.000 pekerja di seluruh dunia. Laporan tersebut turut menyurvei enam dari 10 negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) – Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Hari ini, Microsoft mengumumkan rencana untuk membekali 2,5 juta orang di wilayah ASEAN dengan keterampilan AI hingga tahun 2025. Pelatihan ini akan dilakukan dengan bantuan pemerintah, organisasi nirlaba, perseroan, dan komunitas.

Inisiatif ini dibangun berdasarkan program-program keterampilan Microsoft yang sudah ada di wilayah ASEAN, yang telah membantu banyak orang mendapatkan pekerjaan atau mengubah kariernya, khususnya perempuan, yang memiliki representasi minim di sektor teknologi.

Berikut adalah beberapa cerita mereka.

Shelin Puspa Arum, 25, Indonesia (Skills for Jobs)

 

Woman in a headscarf sitting on a couch, smiling
Foto 1. Shelin Puspa Arum, Indonesia. Foto oleh John Brecher untuk Microsoft.

Orang tua Shelin Puspa Arum memiliki usaha bakso di rumah mereka di Mojokerto, Jawa Timur. Selama lockdown COVID-19, pelanggan melakukan isolasi di rumah, dan usaha bakso tersebut hampir gulung tikar.

Untuk membantu orang tuanya, mahasiswi tersebut mulai mencari pekerjaan dan menemukan pelatihan digital gratis di bawah inisiatif Microsoft Skills for Jobs. Ia mengikuti beberapa kursus dasar – Excel, Word, PowerPoint, dan analisis data. Berbekalkan sertifikat-sertifikat tersebut, ia mendapatkan pekerjaan di pertengahan 2023 sebagai seorang Quality Control Officer untuk perusahaan yang mengimpor berbagai barang, dimulai dari rokok elektrik hingga kostum Halloween.

Arum, kini berusia 25 tahun, merupakan mahasiswi Sejarah tingkat akhir di Universitas Negeri Malang, yang berkuliah dari jarak jauh. Ia bekerja full-time sembari menyelesaikan skripsinya.

Ia menggunakan Excel untuk menganalisis data quality control dan membuat grafik, kemudian mengekspor tabel ke Word.

Jika ia tidak mengingat formula untuk Excel, Arum menggunakan ChatGPT dari OpenAI, yang ia pelajari dari teman-temannya di kuliah. Ia ingin menyelami bidang lainnya, contohnya, pemasaran digital dan audit produk, dan ia merasa bahwa keterampilan AI akan memungkinkannya berkembang di perusahaan dengan membantunya mempelajari bidang-bidang baru ini.

Usaha bakso orang tuanya sekarang membaik karena orang-orang sudah kembali menjalani kegiatan sehari-hari. Walaupun begitu, Arum kerap memberikan 50 persen dari pendapatannya ke keluarga, termasuk membayar biaya pendidikan tahun terakhir SMA adiknya.

“Ini bukanlah beban,” katanya. “Saya merasa bahagia dapat berkontribusi secara finansial ke keluarga. Orang tua tidak meminta, tetapi saya berinisiatif dan saya senang dapat membiayai orang tua.”

Jidapa Nitiwirakun, 21, Thailand (Skills for Jobs)

Woman in a wheelchair, smiling
Foto 2. Jidapa Nitiwirakun, Thailand. Foto oleh John Brecher untuk Microsoft.

Ketika Jidapa Nitiwirakun berusia sekitar satu tahun, ibunya sadar bahwa ia tidak belajar berjalan. Dokter mendiagnosanya dengan distrofi otot.

Di usia 21 tahun, ia berhasil mendapatkan pekerjaan meskipun hidupnya memiliki keterbatasan karena kondisi tersebut, termasuk mengalami penurunan kekuatan otot setiap tahun. Pada bulan September tahun lalu, ia bergabung di departemen sumber daya manusia perusahaan Toyota Tsusho kantor pusat Thailand, hidup mandiri dan bekerja secara jarak jauh dari rumahnya di Pattaya, di Provinsi Chonburi pesisir Thailand. Perusahaan ini adalah anak perusahaan yang mengurus bagian perdagangan dari perusahaan otomatif raksasa asal Jepang tersebut.

Ketika ia beranjak dewasa, Nitiwirakun mengatakan, “Saya punya banyak impian” – dari memiliki toko roti hingga menjadi penerjemah bahasa Thailand-Jepang, karena ia penggemar anime.

Selama berada di Pattaya Redemptorist Technological College untuk Penyandang Disabilitas, ia bergabung di program Skills for Jobs Microsoft, yang mengajarkan keterampilan digital mendasar bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan, kenaikan jabatan, atau bahkan perubahan karier. Ia mempelajari keterampilan digital untuk bisnis, dari coding, PowerPoint, hingga AI. Ia menjalani program magang di Microsoft Thailand, yang berhasil meningkatkan kepercayaan dirinya karena diminta untuk melatih karyawan serta klien untuk menggunakan Power BI. “Saya bersemangat dan gugup,” ungkapnya.

Kunjungan dari rekruter Toyota Tsusho berakhir dengan dirinya mendapatkan pekerjaan full-time sebagai Administrative Officer di departemen sumber daya manusia perusahaan pada tahun lalu. Kini, ia sedang mengerjakan sebuah proyek yang bertujuan melacak jejak karbon perusahaan menggunakan Power BI, dan melakukan desain grafis untuk komunikasi internal. Ia menggunakan Dall-E dari OpenAI untuk menghasilkan gambar sehingga dapat menghemat waktu. Ia menggunakan teknologi AI dalam pekerjaannya, untuk membantunya mendapatkan formula untuk analytics di Power BI, dan untuk menyimpulkan informasi ketika melakukan pencarian di Internet.

Ia terus menjadi sukarelawan di universitas lamanya, “mengemudikan” kursi roda mekanisnya dari rumah ke universitas dengan waktu tempuh 10 menit.

Setiap bulan, ia memberikan uang kepada ayah, ibu, dan neneknya, serta membantu membiayai pendidikan kuliah saudaranya. “Saya sangat bangga dengan diri saya sendiri karena dapat membantu keluarga,” katanya.

Assoc Prof. Dr. Hasyiya Karimah Adli, 37, Malaysia (Code; Without Barriers)

Woman in a headscarf at a conference
Foto 3. Dr Hasyiya Karimah Adli, Malaysia. Foto dari Dr Hasyiya.

Beberapa tahun lalu, Hasyiya Karimah Adli merupakan seorang akademisi yang berfokus pada tenaga solar ketika ia menyadari sesuatu: Malaysia mendapatkan banyak sinar matahari, tetapi belum dimanfaatkan dengan baik.

Untuk meningkatkan skala fasilitas pembangkit tenaga listrik surya (PLTS), Hasyiya – seorang kimiawan dengan PhD di Teknik Material – harus beralih ke komputasi. Di tahun 2021, ia bergabung dengan Code; Without Barriers, inisiatif Microsoft untuk menutup kesenjangan gender di bidang cloud, AI, dan teknologi digital.

“Saya jatuh cinta dengan AI dan IoT, dan mulai mengembangkan kemampuan saya,” ucapnya.

Kini, Hasyiya, 37 tahun, adalah dekan pendiri Fakultas Ilmu Data dan Komputasi di University Malaya Kelantan, area pedesaan di semenanjung timur laut Malaysia. Angkatan pertama yang terdiri dari dari tujuh data scientist akan lulus di bulan Maret 2025.

Permintaan melonjak untuk program ini. Di penerimaan terbaru pada bulan September tahun lalu, 2.000 pelamar bersaing untuk mengisi 90 posisi. Ratusan lainnya telah mengambil kursus singkat secara daring.

Kursus-kursus didasari oleh kurikulum Microsoft, dan Fakultas mengajak mahasiswa dari seluruh universitas. Mahasiswa Bisnis melihat bagaimana analisis data dan AI dapat membantu mereka membangun startup di masa depan. Calon dokter hewan dan peternak muda ingin mengetahui bagaimana data dari sensor dapat membantu mereka memonitor temperatur hewan, atau bagaimana AI dapat memprediksi penggunaan air dan energi.

Sebagai salah satu dari beberapa dekan teknologi perempuan di Malaysia, Hasyiya ingin perempuan-perempuan muda sadar bahwa bidang ini tidak harus didominasi oleh pria, atau bahkan oleh mereka yang memiliki latar belakang teknologi.

“Saya terus memberi tahu bahwa saya juga tidak berasal dari TI,” ungkapnya. “Jika mereka memiliki semangat, mereka tidak perlu meragukan diri mereka sendiri.”

Hidayah Ibrahim, 41, Malaysia (Skills for Jobs)

A man and two women in headscarves in conversation at their laptops
Foto 4. Hidayah Ibrahim, Malaysia. Foto oleh John Brecher untuk Microsoft.

Setahun lalu, Hidayah Ibrahim bekerja sebagai guru taman kanak-kanak (TK) di daerah sekitar Kuala Lumpur. Ia hanya pernah mendengar teknologi AI dalam konteks film populer dengan judul yang sama.

Hidayah, 41 tahun, memiliki pengalaman bekerja di customer service, pemasaran, dan di restoran. Ia sempat menjadi guru untuk beberapa saat, kemudian seorang ibu rumah tangga, sebelum perceraian mendorongnya untuk kembali bekerja, kali ini sebagai guru TK. “Saya telah mengalami pasang surut di kehidupan ini,” ungkapnya.

Ia senang mengajari anak-anak, tetapi frustrasi dengan pendapatannya yang di bawah upah minimum. Di pekerjaan tersebut, ia jarang menggunakan komputer, kecuali ketika memutarkan video untuk ditonton muridnya.

Salah seorang temannya memberi tahu Hidayah mengenai Skills for Jobs. Ia mendaftarkan diri di pusat komunitas terdekat, di mana ia belajar menggunakan Microsoft 365, seperti Word, Excel, Teams, dan masih banyak lagi. Ia juga mempelajari cara membuat prompt untuk alat-alat generative AI.

Hal itu cukup baginya untuk dapat bekerja di sebuah firma konstruksi, di mana pendapatannya dua kali lipat dibandingkan ketika ia bekerja sebagai guru TK. Sebagai satu-satunya staf administrasi di fasilitas penyimpanan konstruksi, ia menangani dokumentasi untuk klaim, lembur, dan cuti berbayar bagi para staf.

Seringkali, ia meminta bantuan AI Copilot untuk pekerjaan yang ia tidak ketahui dan untuk bekerja lebih cepat. Contohnya, untuk membuat grafik dan menyimpulkan data. “AI membantu saya menyelesaikan pekerjaan administratif,” ucapnya. Hidayah menyukai pekerjaannya dan dapat melihat dirinya bekerja di posisi ini hingga pensiun.

Saran Hansakul, 38, Thailand (Code; Without Barriers)

Woman speaking into a mic
Foto 5. Saran Hansakul, Thailand. Foto dari Saran.

Ketika lockdown dari pandemi menyebabkan tutupnya toko perhiasan silver Bangkok, AKE AKE Thailand, di mana Saran Hansakul bekerja sebagai Brand and IT Manager, ia tahu bahwa pekerjaannya dalam bahaya.

Hansakul melihat di media sosial bahwa Microsoft menawarkan sertifikasi gratis di bidang keamanan siber, AI, dan data sebagai bagian dari program Code; Without Barriers. Ia ingat bahwa pada saat itu ia berpikir: “Ini adalah satu-satunya cara untuk melewati 2020.”

Salah satu langkah pertama yang ia ambil dengan ilmu baru ini adalah membuat perusahaannya paperless berdasarkan pengetahuannya mengenai keamanan data. Ia ingat ketika terdapat banyak tumpukan kertas yang berada di atas meja atasannya, maupun yang disematkan di papan pengumuman. “Terdapat banyak kemungkinan untuk salah membaca, membuat kesalahan lainnya, dan kehilangan informasi yang bersifat rahasia,” katanya.

Ia juga perlahan mengimbau karyawan untuk mengurangi penggunaan aplikasi pesan instan karena mencampurkan pesan kerja dan pribadi setiap saat berisiko membuat karyawan kewalahan. Karyawan mulai menggunakan Microsoft 365, termasuk Teams, untuk berkolaborasi secara lebih aman.

Selanjutnya, ia bekerja dengan salah satu partner Microsoft untuk menggunakan Azure AI Studio dalam membangun Copilot untuk membantu para pembeli. Proyek tersebut sedang menunggu persetujuan anggaran.

“Pembeli Thailand gemar menggunakan fitur chat,” katanya. Jika seorang pelanggan membagikan foto seorang selebriti mengenakan perhiasan, AI dapat memberikan gambar serupa. AI juga dapat melakukan penerjemahan untuk banyaknya turis dari Republik Rakyat China (RRC) yang membanjiri Thailand semenjak perbatasan telah dibuka.

Yang dimulai sebagai upaya untuk meningkatkan keterampilan juga mengenalkan Hansakul kepada komunitas perempuan di bidang teknologi, yang cukup besar. Sebagai seorang admin media sosial untuk Thai Cy Sec, yang merancang acara dan rapat daring bulanan, ia melihat banyak anggota mendapatkan pekerjaan baru dengan upah yang lebih tinggi, yang “mengubah hidup mereka.”

###

[ad_2]

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *