[ad_1]


Jakarta, CNN Indonesia

Koran mingguan asal Inggris, The Economist, mengoreksi laporan mereka soal pantauan (tracking) beberapa survei elektabilitas calon presiden RI di Pilpres 2024 mendatang.

Sebelumnya pada Rabu (24/1), The Economist memaparkan hasil survei elektabilitas ketiga capres RI yang dilakukan beberapa lembaga polling di Indonesia.

Di artikel berjudul “Who will be the next president of Indonesia?” itu, awalnya media tersebut menyoroti elektabilitas capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, menyentuh 50 persen, sementara capres nomor urut 03 Ganjar Pranowo di peringkat dua dengan 23 persen dan capres 01 Anies Baswedan 21 persen.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, tim redaksi The Economist merevisi laporan mereka tersebut pada Kamis (25/1). Dalam pembaruan laporan mereka, persentase elektabilitas Prabowo turun menjadi 47 persen.

“Hasil pantauan ini telah diperbarui dengan menghapus data hasil survei yang kami anggap tidak bisa diandalkan,” bunyi catatan redaksi The Economist dalam artikel tersebut.

The Economist memaparkan pantauan hasil survei elektabilitas ini berlangsung sejak Januari 2023 hingga pertengahan Januari 2024. Terlihat dalam grafik soal perkembangan hasil perolehan suara tiga capres Indonesia berdasarkan lini masa tanggal dan bulan.

Meski demikian, media tersebut tidak menjelaskan baik lembaga survei yang dijadikan acuan, maupun total jumlah responden, dan metode pengumpulan data serta margin of error dari survei yang dilakukan.

The Economist juga tidak menyebutkan mekanisme di balik tracking mereka.

Di laman tersebut, koran mingguan itu menuliskan profil singkat mengenai rekam jejak Prabowo, Anies, dan Ganjar sebagai capres yang maju pada kontestasi pilpres 2024.

The Economist menyebutkan bahwa Prabowo bukan hanya amat menerima “Jokowinomic” seperti pembangunan infrastruktur, tapi juga memilih anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapresnya.

Untuk profil Anies, media itu juga menyinggung rekam jejak kontroversial saat ia maju di perebutan Gubernur DKI Jakarta pada 2017.

“Kampanye untuk (posisi) gubernur (DKI), bagaimanapun juga, ia masuk ke dalam politik identitas yang buruk melawan petahana dari etnis China dan kristen,” tulis the Economist.

Sementara itu,media ekonomi itu menyoroti Ganjar muncul bukan dari dinasti politik yang amat kuat sehingga amat mengandalkan dukungan partai kuat, PDI-P dan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

(rds)

[Gambas:Video CNN]



[ad_2]

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *