[ad_1]

ANALISIS

CNN Indonesia

Kamis, 25 Jan 2024 11:51 WIB









Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri) dan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto (kanan) saat menyatakan presiden boleh kampanye dan memihak dalam pemilu, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024). (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

Jakarta, CNN Indonesia

Presiden Joko Widodo menuai polemik usai menyebut seorang presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilu.

Menurutnya, hal itu tidak dilarang sepanjang mengikuti aturan bahwa selama kampanye tidak menggunakan fasilitas negara.

Jokowi mengatakan presiden tak hanya berstatus sebagai pejabat publik, namun juga pejabat politik.

Keberpihakan Jokowi dalam Pilpres 2024 sebenarnya sudah jauh hari jadi sorotan publik setelah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, ikut mencalonkan diri sebagai wakil presiden.

Gibran mendampingi calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto yang saat ini menjabat Menteri Pertahanan di kabinet pemerintahan Jokowi.

Berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, presiden dan wakil presiden yang masih menjabat memang diperbolehkan ikut serta dalam kampanye pasangan calon presiden-calon wakil presiden di Pilpres 2024.

Meski diperbolehkan ikut kampanye, presiden dan wakil presiden harus memenuhi pelbagai persyaratan. Di antaranya harus cuti di luar tanggungan negara serta tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya.

Persyaratan yang sama juga harus dilakukan oleh para menteri dan para kepala daerah tingkat provinsi hingga kabupaten/kota bila ingin terlibat dalam mengampanyekan kandidat peserta pemilu.

Sementara dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 53 tahun 2023 dijelaskan menteri dan pejabat setingkat menteri yang dicalonkan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden tidak harus mundur dari jabatannya.

Jokowi dinilai langgar etik

Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti menilai keberpihakan dan keikutsertaan Jokowi dalam kampanye melanggar etik.

“Secara etik pasti salah, enggak boleh itu seharusnya. Offside. Kampanye presiden, menteri-menteri kampanye itu enggak boleh secara etik,” kata Bivitri kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/1) malam.

Ia membenarkan bahwa Jokowi boleh berpolitik karena setiap warga negara memiliki hak politik untuk memilih. Namun, yang menjadi persoalan, menurutnya, kampanye yang dilakukan oleh seorang presiden.

Dalam konteks jabatan presiden, kata dia, etika penyelenggara negara harus diperhatikan. Sebab, presiden bisa mempengaruhi suara masyarakat melalui fasilitas negara yang melekat dan pengaruh yang dimilikinya.

“Presiden, menteri, itu kalau ngomong pasti kayak titah juga. Menteri paling tidak buat jajaran bawahannya. Kalau dari aspek hukum, secara prinsip kita bisa lihat pasal-pasal lainnya enggak boleh ada kampanye oleh pejabat-pejabat negara,” ujarnya.

Bivitri menyoroti pernyataan Wakil Ketua Dewan Pengarah TKN Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan presiden dan wakil presiden boleh melakukan kampanye sesuai Pasal 299 ayat 1 Undang-undang Pemilu.

Ia menegaskan pasal yang menyatakan hak presiden untuk berkampanye harus dibaca dalam konstruksi hukum yang utuh dari Undang-undang Pemilu. Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu, jelas dia, dibuat untuk presiden, wakil presiden, dan menteri yang mencalonkan diri dalam kontestasi politik.

“Dalam konteks presiden seperti Jokowi 2019 boleh kampanye orang dia nyalon lagi. Tapi kan sekarang dia enggak nyalon. Jadi itu bukan perlakuan umum sebenarnya. Itu kekhususan,” jelasnya.

“Secara prinsip kita bisa lihat di pasal-pasal lainnya enggak boleh tuh ada kampanye oleh pejabat-pejabat negara,” imbuhnya.

Selain melanggar etik, Bivitri juga menilai Jokowi melanggar hukum tata negara yang mengandung nilai-nilai konstitusionalisme.

“Hukum tata negara itu mengandung nilai-nilai konstitusionalisme, dalam konteks ini Jokowi melanggar. Dia juga melanggar prinsip pemilu kita yaitu luber, jurdil terutama dil-nya. Enggak ada keadilan pemilu jadinya,” kata Bivitri.







Foto: CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani

Pelanggaran undang-undang

Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai pernyataan Jokowi secara terang benderang melanggar undang-undang.

Dalam Pasal 229 Undang-undang Pemilu disebutkan bahwa yang boleh kampanye adalah mereka yang sudah didaftarkan sebagai juru kampanye atau tim kampanye ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Lho, Jokowi bukan tim kampanye,” ujarnya.

Menurutnya, cara berpikir Presiden Jokowi yang mengatakan boleh kampanye itu cara berpikir yang menempatkan Presiden semata-mata sebagai jabatan politik.

“Dia sangat keliru dan bahkan bisa melanggar UUD 1945” kata Ubedilah.

“Lebih bahaya lagi ketika Jokowi bicara boleh kampanye dan boleh memihak itu ia lakukan didampingi Prabowo dan di hadapan dan di kelilingi tentara,” sambungnya.

Ubedilah menegaskan mencampuradukan antara jabatan politis, kepala negara dan kepala pemerintahan tidak bisa dibenarkan.

Tindakan itu bisa masuk kategori penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

“Mencampuradukkan wewenang itu sama saja bekerja di luar ruang lingkup bidang atau materi wewenang yang diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan yang diamanahkan oleh wewenang tersebut. Karenanya Presiden Jokowi sesungguhnya telah nyata-nyata melanggar undang-undang,” jelasnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya…


Netralitas Sekadar Jargon


BACA HALAMAN BERIKUTNYA


[ad_2]

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *