[ad_1]
CNN Indonesia
Jumat, 02 Feb 2024 17:37 WIB
Jakarta, CNN Indonesia —
Pakar dari Australia bicara mengenai citra calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, serta peluang Prabowo dalam pemilihan presiden (pilpres) yang akan digelar 14 Februari mendatang.
Ketua Global Islamic Politics dari Alfred Deakin Institute for Citizenship and Globalization (ADI), Greg Barton, menyampaikan pandangannya mengenai citra “gemoy” Prabowo dalam diskusi daring bertajuk “The View from Outside: How Indonesianists See Our Democracy, Elections, and Political Development” oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).
Barton menyampaikan menteri pertahanan Indonesia itu menunjukkan citra yang berbeda dibandingkan saat dia berkontestasi di pilpres 2014 dan 2019.
Pada 2014, kata Barton, Prabowo mencitrakan diri sebagai seorang populis atau orang yang merakyat. Kemudian pada 2019, Ketua Umum Partai Gerindra itu mencitrakan dirinya sebagai negarawan internasional.
Kini, di pilpres yang ketiga kalinya dia ikuti, Prabowo berusaha membuat dirinya terlihat seperti “paman yang lucu”.
“Hal yang menarik dari TikTok adalah dia [Prabowo] mengatakan kepada masyarakat muda, kepada publik, untuk jangan takut. Abaikan cerita-cerita yang Anda dengar dari semua orang di masa lalu. Tidak ada yang perlu ditakutkan di sini,” kata Barton dalam diskusi pada Jumat (2/2).
“Jadi dia berubah dari generasi X yang menakutkan menjadi paman yang lucu,” lanjut dia.
Barton bicara demikian saat membahas pengaruh media sosial untuk keperluan politis di masa pemilihan umum (pemilu). Menurut Barton, media sosial punya peranan penting karena bisa menarik generasi baru yang tumbuh seiring dengan perkembangan teknologi.
Ini berbeda dengan 20 tahun saat kondisi dunia belum semaju sekarang.
Barton kemudian mencontohkan pada masa debrat capres eks Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, sang mantan presiden melakukan debat pilpres yang sukses karena disiarkan di televisi.
Kennedy, kata dia, memahami televisi dengan baik karena mengikuti tiap arahan, termasuk mau dirias, agar bisa tampil di depan layar. Ini berbeda dengan lawannya, Richard Nixon, yang saat itu menolak dirias.
“Itu adalah sebuah titik balik. Untuk teknologi baru,” ucap Barton.
“Media sosial kini mengubah publik sehingga publik tidak perlu duduk di ruang santai atau menonton televisi saat kita sekarang bisa tinggal mengangkat ponsel dan melihat hal-hal yang diberikan oleh algoritma media sosial kita,” lanjut Barton.
Barton lalu menyinggung pemilu di Filipina sebagai salah satu gelaran pemilu yang sukses karena menggunakan media sosial sebagai media kampanye. Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr alias Bongbong memakai TikTok untuk menutupi era ayahnya, Ferdinand Marcos Sr, yang memerintah negara itu secara otoriter.
“Hal yang sama juga terjadi pada Bongbong Marcos, yang merupakan bagian dari kampanye sukses untuk menutupi era Marcos dan menceritakan kembali sejarah melalui media sosial,” ucapnya.
“Dan menurut saya, Prabowo tidak akan sukses karena kegemoyannya,” sambung dia, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Belakangan, berbagai survei menunjukkan Prabowo Subianto meraup elektabilitas tertinggi di kalangan anak-anak muda seperti milenial dan generasi Z.
Salah satunya, survei Poltracking yang menunjukkan generasi di bawah usia 22 tahun cenderung memilih Prabowo dan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon presiden RI.
Pada survei LSI, Prabowo-Gibran juga menjadi pilihan generasi usia kurang dari 21 tahun. Survei Indikator pun menyebut generasi Z dan Y (milenial) lebih menyukai Prabowo-Gibran ketimbang dua pasangan capres lainnya.
Dalam gelaran pilpres mendatang, Prabowo-Gibran akan bersaing dengan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Meski Prabowo-Gibran meraih elektabilitas tertinggi, banyak pihak yang enggan memilih pasangan itu karena dugaan pelanggaran HAM Prabowo di masa lalu.
Banyak pula yang tak menyukai Gibran karena ‘jalur ekspres’ dia menjadi calon wakil presiden. Gibran lolos menjadi cawapres dengan usia di bawah 40 tahun karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan mereka dengan usia kurang dari 40 tahun maju mencalonkan diri di pilpres asal pernah memiliki pengalaman memerintah.
(blq/bac)
[ad_2]
Source link