[ad_1]

Bisnis.com, JAKARTA — Netralitas penyelenggara negara di tengah pemilihan presiden (Pilpres) 2024 menjadi sorotan sejumlah pihak.

Politisi hingga civitas academica menyuarakan kekhawatirannya terkait kenetralan penyelenggara negara dalam pemilihan umum atau Pemilu 2024. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi sosok yang diharapkan berlaku adil dalam kontestasi politik lima tahunan ini. Aparatur sipil negara (ASN), aparat keamanan, dan penyelenggara Pemilu mulai dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun menjadi sorotan.

Teranyar, calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo kembali menyoroti isu netralitas itu. Kehadiran sederet menteri dalam Konser Salam Metal (Menang Total) yang diselenggarakan Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud di GBK, Sabtu (3/2/2024), dinilai menjadi bukti etika yang tepat bagi penyelenggara negara.

Pasalnya, kampanye yang dihadiri oleh sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju (KIM) yang dipimpin Jokowi dan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin itu diselenggarakan pada hari libur. 

Konser Salam Metal itu dihadiri oleh sejumlah menteri dari PDI Perjuangan yakni Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas.

“Maka, ini harinya hari libur. Inilah yang kami sebut sebagai sebuah etika dalam pemerintahan. Sampai pada titik tertentu nanti, itu yang akan mereka lakukan,” kata Ganjar seperti dilansir Antara.

Etika pemerintahan, jelasnya,  juga ditunjukkan calon wakil presiden Mahfud Md yang mundur dari posisi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) di KIM.

Selain itu, Ganjar mencontohkan etika Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang mundur dari jabatan komisaris utama PT Pertamina (Persero) karena ingin memberikan dukungan politik bagi pasangan calon Ganjar-Mahfud.

“Dan etika kita mau berpihak agar bisa netral dan tidak terpengaruh oleh segala sesuatu yang berkaitan potensi melanggar ketentuan, maka pada saat itu mundur, itu sebuah etika,” tambah Ganjar.

Menurutnya, sejumlah sikap etis dalam pemerintahan itu menjadi contoh agar tidak ada konflik kepentingan dalam Pilpres 2024. Hal itu menjadi penting, sebutnya, lantaran saat ini akademisi hingga masyarakat sipil ikut bersuara terkait netralitas penyelenggara negara.

“Maka, jangan sampai demokrasi di kita berbahaya. Demokrasi in danger, itu bahaya. Maka, semua sekarang berbicara dan berkontribusi,” ujarnya.

CIVITAS ACADEMICA

Tuntutan netralitas penyelenggara negara memang riuh disuarakan civitas academica dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Para akademisi itu angkat suara dan menyatakan sikap agar pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2024 berlangsung jujur dan adil.

Para jajaran pendidik dan mahasiswa di sederet perguruan tinggi itupun menyuarakan pesan agar penyelenggara negara tetap berlaku netral agar tujuan Pemilu dan Pilpres 2024 tercapai.

Pernyataan sikap itu ditetapkan lantaran beragam peristiwa-peristiwa sosial, politik, ekonomi, dan hukum yang terjadi belakangan ini mengindikasikan merosotnya kualitas demokrasi.

Mereka pun menyoroti pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo yang dinilai harus netral dalam Pilpres 2024. 

Pernyataan sikap itu datang dari civitas academica di Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan 24 rektor serta ketua perguruan tinggi yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia (Aptik).

Sikap civitas academica itu menyusul tuntutan serupa yang disampaikan jajaran Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengkritik Presiden Jokowi.

Civitas academica yang terdiri dari warga dan alumni UI, misalnya, membacakan seruan kebangsaan, Jumat (2/2/2024). Mereka meminta pelaksanaan Pemilu bebas dari segala bentuk intimidasi.

Civitas academica UI juga meminta agar seluruh ASN, pejabat pemerintah, hingga TNI dan Polri bebas dari paksaan untuk memenangkan salah satu pasangan calon.

Terpisah, civitas academica Unpad mengkritisi sikap politik Presiden Jokowi melalui petisi bertajuk ‘Selamatkan Negara Hukum yang Demokratis, Beretika dan Bermartabat’.

Petisi itu disampaikan oleh para guru besar, dosen, dan mahasiswa Unpad di Gerbang Pintu Utama, Kampus Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, Sabtu (3/2/2024).

Ketua Senat Unpad Prof. Ganjar Kurnia mengatakan, aksi ini merupakan respons dari banyaknya peristiwa-peristiwa sosial, politik, ekonomi, dan hukum yang belakangan ini terjadi, seperti merosotnya kualitas demokrasi selama masa pemerintahan Presiden Jokowi

“Pelemahan KPK melalui penempatan pimpinan-pimpinannya yang tidak amanah, penyusunan Omnibus Law pengaman investasi yang prosesnya jauh dari partisipasi publik, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan dalam syarat capres cawapres dalam pemilu oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Ganjar.

Sementara itu, Dewan Guru Besar UMY turut menanggapi eskalasi politik dan indikasi atas minimnya etika bernegara dalam kurun waktu satu tahun terakhir.

“Ini didasari atas pandangan Dewan Guru Besar UMY terhadap beberapa penyelenggara negara yang cenderung ingin mempertahankan kekuasaan, sementara rakyat semakin tereliminasi oleh kekuatan oligarki,” jelas Prof. Akif Khilmiyah saat membacakan pernyataan sikap dari Dewan Guru Besar UMY.

Salah satu desakan yang diajukan Dewan Guru Besar UMY kepada Presiden RI adalah menjalankan kewajiban konstitusionalnya demi mewujudkan pelaksanaan Pemilu 2024 yang jujur dan adil. 

Rektor dan ketua perguruan tinggi yang tergabung dalam Aptik juga turut menyatakan sikap terkait dinamika politik menjelang Pemilu 2024.

Dalam keterangan resmi yang ditandatangani 24 rektor dan ketua perguruan tinggi yang tergabung dalam Aptik, mereka mengaku sangat resah dengan kondisi di Tanah Air atas rusaknya tatanan hukum dan demokrasi Indonesia menjelang Pemilu serentak 2024.

“Praktik penyalahgunaan kekuasaan, kolusi, korupsi dan nepotisme serta penegakan hukum yang semakin menyimpang dari semangat reformasi dan konstitusi negara telah mengoyak hati nurani dan rasa keadilan bangsa Indonesia,” demikian tertulis dalam surat pernyataan tersebut. 

Sejumlah pernyataan sikap itu mengikuti langkah serupa yang disuarakan civitas academica UII dan UGM.  

Para akademisi UII menganggap bahwa Presiden Jokowi telah memudarkan sikap kenegarawanan dalam tubuh pemerintahan Indonesia.  Sebelumnya, akademisi UGM mengungkapkan keprihatinan sekaligus kekecewaan terhadap manuver politik yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.

RESPONS JOKOWI

Terkait sejumlah pernyataan sikap atas netralitas penyelenggara tersebut, Presiden Joko Jokowi angkat bicara. Kepala Negara menilai bahwa setiap kritik dan pernyataan sikap merupakan hak demokrasi yang harus dihargai. 

“Itu hak demokrasi yang harus kita hargai,” ujarnya dikutip melalui Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (3/2/2024). 

Sebelumnya, Kepala Negara juga mempersilakan bagi setiap masyarakat hingga institusi pendidikan untuk mengkritik pemerintah. 

Presiden Ke-7 RI itu menilai bahwa penyampaian kritik merupakan hak dari setiap warga negara.  Hal ini disampaikannya usai menghadiri agenda peresmian pembukaan Kongres XVI Gerakan Pemuda Ansor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (2/2/2024). 

“Ya itu hak demokrasi setiap orang boleh berbicara berpendapat, silakan,” ucapnya kepada wartawan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google
News

[ad_2]

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *