[ad_1]
Anak muda punya peran strategis dalam kehidupan sosial politik negeri ini. Tak hanya menjadi kelompok pemilih terbanyak pada Pemilu 2024, anak muda juga merupakan penentu masa depan bangsa. Para calon pemimpin negeri tak cukup hanya mendekati, tetapi juga harus bisa memahami pendapat, gagasan, dan harapan generasi muda.
”Aku orangnya sangat egois. Jadi, aku akan melihat pasangan calon yang juga mendukung industri kreatif. Hidupku di sini, teman-temanku di sini,” kata aktris Putri Ayudya (35), seusai acara PechaKucha Night Jakarta, Rabu (25/10/2023).
Putri adalah satu dari 106,3 juta pemilih muda yang tengah menimbang pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres–cawapres) mana yang harus dipilih. Sebagai pekerja seni, Putri mengaku bukan sosok yang melek politik. Dia hanya memantau sekelebat info dari media sosial sembari sekali-kali mencuri dengar diskusi teman-teman sekitar.
Siapa pun pasangan capres-cawapresnya, dia hanya mencari orang dengan program yang mendukung kesejahteraan pekerja dan ekosistem industri kreatif. ”Itu yang bakal jadi salah satu patokan aku buat berpikir siapa yang akan memimpin kita nanti,” tuturnya.
Sama seperti Putri, Chelsea Gabriella Szhasfha (23) mencari kandidat yang mendukung hal yang juga menjadi perhatiannya. Sejak 2021, Chelsea terlibat sebagai sukarelawan di Perkumpulan Damar, Lampung, yang fokus pada penegakan hak perempuan dan anak.
”Pasangan calon yang akan menarik aku adalah yang visi dan misinya menjamin pemenuhan hak dasar perempuan dan anak, seperti pendidikan dan layanan kesehatan, khususnya reproduksi. Selain itu juga dapat menjamin perempuan mendapat pekerjaan layak tanpa diskriminasi di sektor apa pun oleh siapa pun,” tutur Chelsea.
Baca juga: Suara Generasi Muda Jadi Rebutan di Pemilu 2024
Sampai saat ini, Chelsea belum menentukan pilihan. Alasannya, perdebatan yang mengemuka di hadapan publik baru sebatas siapa kandidat yang bisa menarik suara terbanyak. Sementara hal-hal substantif, seperti visi dan misi, belum banyak diperbincangkan.
Preferensi pribadi
Kendati baru pertama kali akan mengikuti pemilu, umumnya para pemilih baru sudah memiliki preferensi pribadi. Wilhelmus Wiliam (20), mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Tangerang, misalnya, mengidamkan sosok pemimpin yang berani menjatuhkan hukuman mati kepada koruptor. ”Apabila koruptor bisa dihukum mati, akan menimbulkan efek jera. Dengan demikian, anggaran bisa dioptimalkan untuk pembangunan negeri ini,” ujarnya.
Sementara itu, Yashinta Daniela (17), siswi SMA Tarakanita 1 Jakarta, berharap pemimpin berikutnya bisa lebih peduli pada dunia pendidikan. Menurut dia, pemerintah tidak perlu sering mengubah kurikulum dan proses penerimaan calon mahasiswa perguruan tinggi negeri. Pasalnya, perubahan kurikulum sering kali membuat pelajar bingung dalam mempersiapkan masa depannya.
Tak hanya itu, sebagian anak muda sudah punya penilaian tersendiri terhadap tiga pasangan bakal capres dan bakal cawapres meski perdebatan mengenai visi, misi, dan program kerja belum mengemuka. Tiga pasang bakal kandidat, yakni Anies Rasyid Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dinilai sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.
Dewi (29), konsultan komunikasi di sebuah agensi di Jakarta, melihat kelebihan para kandidat dari rekam jejak mereka selama ini. Anies, misalnya, dinilai kuat dari sisi pendidikan karena latar belakangnya sebagai akademisi. Selain pernah menjadi rektor, bakal capres dari Koalisi Perubahan ini juga pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Setali tiga uang dengan Dewi, Raya Fahreza (20), mahasiswa di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, juga melihat keunggulan kandidat dari rekam jejak. Posisi Prabowo sebagai Menteri Pertahanan membuat Raya menilai bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju itu sebagai sosok yang tegas dan berani untuk memimpin Indonesia menjadi negara superpower.
Latar belakang Ganjar yang menjadi Gubernur Jawa Tengah selama dua periode juga memengaruhi penilaian Raya terhadap sosok bakal capres yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hanura, dan Partai Perindo tersebut. Raya melihat Ganjar sebagai sosok yang dekat dengan rakyat.
”Tapi, saya mencari calon presiden dan calon wakil presiden dengan janji yang tidak berlebihan agar realistis, takut menjadi utang ke rakyat,” kata Raya.
Terlepas dari kelebihan setiap pasangan capres-cawapres, Margaretha Yolanda Ndejeng (21), mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Nusa Tenggara Timur, melihat kesamaan strategi komunikasi dari ketiga kontestan pilpres tersebut. Mereka jadi suka berguyon.
”Yang jelas, saya suka dengan calon yang tidak kaku dalam ucapan ataupun tindakannya,” ucap Yolanda yang telah menentukan pilihannya.
Ada satu kerinduan Yolanda untuk ketiga pasangan kandidat, yaitu saling memuji di forum terbuka dengan bumbu guyonan. Ia yakin, suasana pemilu akan lebih cair. ”Jangan terlalu kaku. Saya suka dengan gaya mantan Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Guyonan bikin hati orang jadi adem,” tuturnya.
Karakter pemilih
Berdasarkan daftar pemilih tetap untuk Pemilu 2024, sebanyak 52 persen atau 106,3 juta pemilih muda berusia 17-40 tahun dari total 204,8 juta pemilih. Secara spesifik, persentase pemilih berusia 17-30 tahun sebesar 31,29 persen dan 31-40 tahun lebih dari 20,7 persen dari total pemilih.
Pemilih muda tidak suka diperlakukan bagaikan sebuah obyek untuk kepentingan menambah suara.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, anak muda sejatinya tidak menyukai komunikasi politik yang hard selling atau terlalu blak-blakan. ”Mereka tidak bisa didekati, lalu diajak langsung ’pilih saya’ ya” tuturnya.
Adi menjelaskan, pemilih muda tidak suka diperlakukan bagaikan sebuah obyek untuk kepentingan menambah suara. Mereka justru menyukai kampanye yang lebih banyak interaksi dan diskusi untuk memberikan pemahaman mengapa mereka harus memilih kandidat tertentu.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah anak muda menyukai konten dan pesan yang disampaikan secara visual. Saat ini, isu yang menjadi perhatian pemilih muda adalah penciptaan lapangan kerja, perbaikan ekonomi, pendidikan, dan lingkungan. ”Namun, secanggih apa pun narasi atau pikiran paslonnya, pemilih muda tak akan tertarik kalau disampaikan tidak secara visual,” kata Adi.
Adi pun mengingatkan para pemilih muda tidak ”alergi” pada politik dan pemilu. ”Jangan terlampau apatis dan mau kritis juga. Carilah pemimpin berdasarkan portofolio dan latar belakang,” ujarnya.
Baca juga: Jadi Penentu Hasil Pemilu 2024, Para Kontestan Diingatkan Libatkan Anak Muda
Sebagian generasi muda sebenarnya sudah memahami pentingnya memberikan suara pada pemilu. Hadi N (33), salah satunya. Warga Kupang, NTT, itu sudah memantapkan hati untuk mencoblos walau belum menemukan paslon yang sesuai hati. ”Mau seburuk apa pun calonnya, beta akan memilih meski nantinya juga orang yang dipilih tidak ingat kita. Ini adalah tanggung jawab moril beta terhadap bangsa,” kata Hadi.
[ad_2]
Source link