[ad_1]

CNN Indonesia

Minggu, 24 Mar 2024 10:00 WIB





Ilustrasi. TikTok tak cuma dipakai buat hiburan dan berjualan. (CNN Indonesia/ Adi Ibrahim)

Jakarta, CNN Indonesia

Para kreator konten risau dengan potensi pemblokiran TikTok lantaran memangkas akses pendidikan online.  

Minggu lalu, DPR AS meloloskan RUU yang melarang warganya untuk menggunakan TikTok. Pelarangan ini memberi waktu enam bulan kepada perusahaan TikTok di China, ByteDance, untuk mendivestasi aset aplikasi. Jika tidak, ancaman pelarangan menanti.

Ini akan menjadi ancaman terbesar untuk para content creator AS yang seringkali menjangkau khalayak luas dan mencari nafkah dari aplikasi tersebut.

Salah satunya adalah seorang guru sekolah negeri di sebuah kota kecil di pedesaan, Nona James, dengan nama akun @iamthatenglishteacher yang memiliki 5,8 juta pengikut di TikTok.

Ia membuka akun TikToknya ini berdasarkan pada kenyataan bahwa siswa virtualnya ternyata tidak memperhatikan tata bahasa pelajaran yang ditugaskan.

Sampai saat ini, dia fokus pada konten pendidikan untuk meningkatkan kualitas bahasa anak-anak.

“Ketika Anda berbicara tentang larangan tersebut, Anda berbicara tentang mengambil akses terhadap video pendidikan berkualitas tinggi dari orang-orang yang telah menggunakannya untuk meningkatkan pendidikan mereka,” ujar James dilansir dari Reuters pada Jumat (22/3).

Pelajarannya di TikTok saat ini digunakan oleh siswa mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan sebagian besar pengikutnya adalah siswa Bahasa Inggris sebagai Bahasa Kedua atau English as a second language (ESL) dari Filipina serta siswa yang bersekolah di rumah.

James percaya dari konten edukasinya mengenai subjek-kata kerja hingga kosa kata, akan membantu dunia melalui pendidikan.

Senada, seorang kreator konten fatfobia (bentuk kebencian atau ketakutan terhadap tubuh yang gemuk atau lebih besar) dan transgender, Naomi Hearts, juga mengemukakan pendapatnya mengenai TikTok yang dapat digunakan sebagai sumber edukasi.

“Menurutku TikTok itu kaya akan ilmu,” ujar Hearts.

Meski demikian, profesor dari Universitas Southern California, Karen North, memperingatkan murid-muridnya mengenai bahayanya manipulasi data pribadi dalam aplikasi TikTok.

“Kekhawatiran saya terhadap TikTok bukan pada informasi apa yang diberikan atau dimanipulasi, atau apakah informasi tersebut mengarah pada satu pesan atau pesan lainnya,” ujar Karen North, pendiri sekaligus mantan direktur program Media Sosial Digital USC Annenberg.

Menurutnya TikTok ini sejenis aplikasi yang membuat para penggunanya menyebar informasi pribadi secara sukarela kepada entitas yang tidak memiliki standar privasi yang sama seperti Amerika Serikat.

Karen North, yang sempat bekerja sebagai Gedung Putih pada pemerintahan Clinton di Capitol Hill, khawatir akan penggunaan fungsi-fungsi seperti pengenalan wajah dan pelacakan lokasi yang digunakan oleh TikTok.

Menurutnya, itu akan menciptakan ancaman yang lebih besar daripada manfaat, termasuk dalam dunia akademis.

Sementara itu, seorang kreator konten ahli bedah plastik, Dr. Anthony Youn, memberi pendapat lain mengenai isu pelarangan TikTok ini. Menurutnya larangan tersebut akan berdampak signifikan pada aksesibilitas informasi.

“Ada segmen besar di TikTok tempat pengguna mendapatkan berita, jadi ini tentang edukasi,” kata Youn, kreator konten dengan 8,4 juta pengikut.

(rni/arh)


[ad_2]

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *