[ad_1]
Dengan pemilihan presiden yang kurang dari dua minggu lagi, masyarakat Indonesia melihat perubahan besar dalam suasana politik saat ini di mana Pemilu 2024 tidak diwarnai oleh politik identitas suku, agama, ras dan antar golongan yang menyebabkan polarisasi di akar rumput.
Pengamat mengatakan, tidak seperti dalam dua pemilu sebelumnya, kampanye pemilu tahun ini tampak lebih inklusif tanpa pengkotak-kotakan dan lebih moderat.
Para analis mengaitkan perubahan ini dengan beberapa faktor, seperti terpecahnya dan melemahnya kelompok Islam konservatif yang pernah mendukung Prabowo Subianto, saingan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Pemilu 2014 dan 2019, serta kelelahan masyarakat terhadap polarisasi pemilu.
Arya Fernandes, analis politik di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berbasis di Jakarta, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia tampaknya telah belajar dari konsekuensi negatif pemilu sebelumnya, yang merusak persatuan dan menumbuhkan ketidakpercayaan dalam masyarakat.
“Kesadaran itu yang buat kampanye dengan basis identitas tidak relevan lagi dan memang sebenarnya kampanye seperti itu tidak ada dampak elektoralnya. Selain ada efek negatif dampak elektoral tidak ada. Jadi sekarang lebih bergeser ke kreatif,” kata dia kepada BenarNews.
Pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019, yang mempertemukan Jokowi melawan Prabowo, ditandai dengan perselisihan yang panas antara kedua kubu yang menyebabkan masyarakat terbelah. Saat itu kampanye diwarnai dengan fitnah, hoaks, dan retorika sektarian.
Beberapa pendukung Jokowi menuduh Prabowo didukung oleh kelompok ekstremis dan radikal yang memiliki hubungan dengan teroris, sementara sebagian pendukung Prabowo mencap Jokowi sebagai seorang dari etnis Tionghoa dan komunis yang anti-Muslim.
>>> Ingin mengetahui berita Pemilu 2024, silakan klik di sini!
Warga sambut positif
Pemilu 14 Februari kali ini tidak banyak diwarnai hoaks terkait sentimen berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dan warga menyambut hal ini dengan positif.
Ravita Nityasari, seorang ibu rumah tangga di Jakarta berusia 36 tahun mengatakan pemilihan presiden sebelumnya “terlalu ekstrem dan menguras emosi.”
“Dulu kan saudara dan teman jadi musuh, kata-kataan di medsos kalau sekarang nggak terlalu. Setidaknya gak memutus tali persaudaraan dan tidak menimbulkan perpecahan,” kata Ravita.
Tiga kandidat yang bersaing untuk menjadi presiden tahun ini – Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo – berusaha menarik simpati masyarakat yang lebih luas dan beragam.
Prabowo, yang ditunjuk Jokowi sebagai menteri pertahanan dalam masa jabatan kepresidenannya yang kedua, fokus menyoroti pencapaian dan visinya di sektor pertahanan dan keamanan, serta komitmennya untuk melindungi kedaulatan Indonesia.
Mantan komandan jenderal Kopassus itu menggunakan cara-cara kampanye yang berbeda 180 derajat dari kesan pelanggar hak asasi manusia yang dituduhkan kepadanya atas dugaan keterlibatannya dalam penculikan aktivis prodemokrasi pada 1998 dan pembantaian warga di Timor Timur ketika negara tersebut masih menjadi bagian dari Indonesia.
Prabowo mencitrakan sebagai sosok “gemoy” yang berarti gemuk dan lucu, dan kerap berjoget di sela-sela kampanye, selain juga gemar memposting kebersamaan dengan kucingnya di media sosial.
Anies, mantan gubernur Jakarta yang terkenal pandai bicara, menekankan rekam jejak dan inovasinya dalam mengelola ibu kota yang berpenduduk lebih dari 10 juta orang itu dengan menyambangi dan bertemu para pemilih di seluruh Indonesia.
Sementara itu, Ganjar, mantan gubernur Jawa Tengah selama dua periode, menggambarkan dirinya sebagai pemimpin populis yang dekat dengan masyarakat biasa dengan tidur di rumah mereka. Ia juga sering melontarkan lelucon di media sosial.
Listya Pratiwi, seorang pegawai swasta berusia 37 tahun, mengatakan metode kampanyenya “lebih inovatif dan menarik”.
“Dari segi kampanye juga lebih menawarkan sesuatu yang baru. Kalau dulu lebih ke kampanye konser, dangdut, nyanyi-nyanyi. Kalau sekarang lebih ke dialog masyarakat misal ada Desak Anies atau Tabrak Mahfud dari paslon nomor 3. Jadi saya rasa ini merupakan sesuatu yang fresh,” kata Listya.
Terpecahnya kelompok Islam konservatif
Ujang Komarudin, dosen politik dan peneliti Universitas Al Azhar Indonesia, mengatakan kelompok Islam konservatif terfragmentasi.
“Mereka bersatu pada 2017 [Pilkada Gubernur Jakarta], bersatu pada 2019 dengan Prabowo, tapi sekarang mereka terpecah. Mereka punya kepentingan yang berbeda,” ujarnya.
“Kelompok konservatif telah ditindas oleh pemerintah, sehingga mereka tidak sekuat sebelumnya sehingga kehilangan popularitas dan daya tariknya,” tambahnya.
Pemilihan gubernur Jakarta pada tahun 2017 adalah salah satu pemilu yang paling memecah belah dan kontroversial dalam sejarah Indonesia.
Pemilihan tersebut mempertemukan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, seorang Kristen dan etnis Tionghoa, melawan Anies.
Ahok, yang terkenal karena kebijakan anti-korupsi dan pro-pembangunannya, menghadapi reaksi keras dari kelompok Islam konservatif yang menuduhnya memusuhi masyarakat miskin dengan program pembaruan perkotaannya.
Video pidato Ahok pada September 2016, yang mengutip ayat Alquran yang kemudian dipelintir oleh seorang yang membencinya viral di sosial media, dan memicu kemarahan umat Islam dan menyebabkan sejumlah aksi demonstrasi di Jakarta.
Kelompok Islam garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang tergabung dalam kelompok 212 –diambil dari tanggal 2 Desember 2016 saat mereka mengadakan demo besar-besaran, menuntut penangkapan Ahok dengan tuduhan penodaan agama.
Walaupun tidak mengakui, Anies yang didukung kubu Prabowo, menggunakan sentimen kelompok Muslim konservatif ini untuk mendulang suaranya dalam Pilkada Jakarta pada 2017 yang akhirnya dimenangkannya Sementara Ahok, tidak hanya kalah dalam Pilkada, ia juga dijebloskan ke penjara selama dua tahun pada 2017 atas dakwaan penistaan agama.
Pemerintah membekukan HTI dan FPI masing-masing pada tahun 2017 dan 2020, dengan tuduhan merusak nilai-nilai kebhinekaan dan demokrasi Indonesia.
Tiga kontestan redam polarisasi
Yon Machmudi, pakar kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, mengatakan adanya tiga kontestan dalam pemilu kali ini meredam polarisasi masyarakat.
Dia mengatakan bahwa pada 2019 terjadi head-to-head sehingga terjadi polarisasi yang kuat. Termasuk di antaranya kelompok konservatif 212 yang mendukung Prabowo dalam melawan Jokowi.
“Ini tampaknya kelompok 212 itu terpecah, ada sebagian tetap bersama Prabowo, ada kemudian bersama Anies-Imin. Partai-partai Islam pada tempat yang berbeda pada koalisi ini,” ujar dia.
Yon juga mencatat, Mohammad Rizieq Shihab, mantan pimpinan FPI yang merupakan tokoh kunci gerakan 212, lebih pasif dalam pemilu kali ini, setelah menjalani hukuman penjara karena menyembunyikan hasil tes COVID-19 pada 2021.
“Di sisi lain, partai-partai Islam juga menyadari bahwa politik identitas tidak akan membantu mereka karena para kandidat mencari dukungan yang lebih luas secara nasional,” kata Yon.
Mardani Ali Sera, ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berhaluan Islam, dan juga juru bicara tim kampanye Anies mengatakan bahwa tujuan utama Anies adalah keadilan sejahtera bagi semua.
“Semua agama, kelompok sosial, dan lapisan masyarakat patut mendapat perhatian, perlindungan, dan pemberdayaan,” ujar Mardani.
Chicco Hakim, juru bicara tim kampanye Ganjar, mengatakan bahwa pemilu tahun ini merupakan angin segar karena lebih fokus pada gagasan.
“Politik identitas akan selalu ada dalam kontes politik, karena masyarakat cenderung mendukung mereka yang memiliki identitas, kesamaan, keyakinan yang sama. Namun kini platform kandidat lebih penting,” ujarnya.
Viva Yoga, juru bicara kampanye Ganjar, mengamini hal tersebut.
“Masyarakat tahu politik identitas itu merugikan, dan generasi muda tidak terpengaruh, jadi tidak dominan,” ujarnya.
“Masih ada, tapi sudah tidak terlalu menarik lagi,” ujarnya.
[ad_2]
Source link