[ad_1]
Presiden Joko Widodo sudah memasuki masa akhir periode kepresidenannya yang kedua sehingga ia tidak bisa mencalonkan lagi sebagai presiden mendatang.
Wacana untuk memperpanjang masa jabatan selama tiga tahun (karena waktu itu digunakan untuk mengatasi pandemi Covid-19) juga dimentahkan. Namun, kini putranya menjadi salah satu peserta pemilihan presiden-wakil presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) dengan nomor urut 2.
Apakah ia memilih putranya, tentu urusan pribadi dia. Namun, apakah ia memperlihatkan dukungannya untuk pasangan nomor dua tersebut? Apakah boleh seorang presiden yang sedang berkuasa melakukan kampanye untuk calon tertentu?
Apabila Presiden Joko Widodo melakukan kampanye, itu akan sangat efektif dan sangat strategis.
Mengapa? Salah satu alasannya, tidak perlu mengumpulkan dana besar karena semua kegiatan Presiden sudah ada anggarannya dan yang lebih penting lagi diliput secara masif oleh media massa nasional.
Dewasa ini tingkat popularitas Presiden Joko Widodo sangat tinggi, demikian pula kepuasan publik terhadap kinerjanya dalam melakukan pembangunan.
Sejak tahun 2004, Presiden Indonesia yang terpilih melakukan koalisi, tidak bergantung kepada satu partai saja. Pada era kepresidenan Joko Widodo yang kedua, Koalisi Indonesia Maju yang dibentuknya sangat kuat.
Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang menjadi lawannya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) sebelumnya diajak bergabung dalam kabinet.
Apakah boleh seorang presiden yang sedang berkuasa melakukan kampanye untuk calon tertentu?
Maka, terbentuklah sebuah pemerintahan presidensial yang paling stabil. Tidak ada kelompok oposisi yang berarti. Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, dengan mudah juga diloloskan DPR.
Dari hari ke hari pemirsa televisi disuguhi gambar kegiatan Presiden meresmikan berbagai proyek pembangunan. Kepuasan terhadap pemimpin besar ini pada gilirannya akan menjadi kultus individu apabila rakyat menunggu petunjuk dari Presiden untuk memilih presiden mendatang.
Waktu untuk melakukan kegiatan tersebut cukup panjang, masih tersisa beberapa bulan. Tiga pasangan capres dan cawapres sudah ditetapkan KPU pada 13 November 2023.
Mencegah nepotisme
Pilpres berlangsung pada 14 Februari 2024. Jika tidak ada calon yang memperoleh suara 51 persen, akan ada putaran kedua yang akan berlangsung pada 26 Juni 2024. Pengucapan sumpah presiden/wakil presiden yang baru akan dilakukan pada 20 Oktober 2024.
Sebagian masyarakat akan berpandangan bahwa Presiden Joko Widodo tentu akan memilih pasangan capres-cawapres yang ada putranya.
Dengan demikian, setiap Presiden meresmikan jalan tol, jembatan, melepas bantuan untuk Palestina, blusukan ke pasar sambil membagikan kaus, apakah bisa ditafsirkan sebagai kampanye untuk memilih calon tertentu?
Pernah dalam suatu kesempatan Presiden menanyai seorang siswa di atas panggung tentang sila Pancasila sebelum memberikan hadiah sepeda. Sewaktu menanyakan sila kedua, Jokowi memperlihatkan dua jari, dan ini tidak dilakukan untuk sila lainnya.
Ini bisa ditafsirkan warganet sebagai kampanye memilih calon nomor dua. Mungkin saja itu tidak disengaja. Yang jelas ini tidak melanggar hukum dan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa kita akan mengimpor beras, tetapi di sisi lain, bantuan sosial akan ditingkatkan dan waktunya menjelang pilpres. Memang ini kegiatan rutin pemerintah, tetapi waktunya bisa membuat orang menduga-duga ini terkait dengan kampanye, walaupun sekali lagi ini tidak bisa dibuktikan.
Seakan-akan ada presiden yang sedang berkuasa berkampanye bersamaan dengan calon yang resmi terdaftar pada KPU. Di satu sisi ada enam orang yang sedang berkampanye di berbagai tempat, tetapi ternyata ada nomor tujuh yang ditafsirkan sebagian orang berkampanye pula untuk calon tertentu.
Walau tidak bisa membuktikan bahwa itu kampanye, orang bisa merasakannya. Kita juga tidak bisa menyarankan kepada Presiden agar ia tidak melalukan kegiatan peresmian proyek pembangunan.
Tidak bisa dicegah agar wajah Presiden tidak muncul di televisi dari hari ke hari. Juga kita tidak bisa meminta Presiden agar berkunjung sangat lama ke mancanegara, seperti pernah dilakukan Bung Karno selama beberapa bulan.
Tidak tampak jalan keluar dari masalah ini. Solusinya hanya bisa di masa depan, untuk jabatan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota, perlu jeda waktu lima tahun apabila istri atau anaknya akan dicalonkan pada jabatan yang sama. Ini untuk mencegah nepotisme yang merugikan demokrasi.
Baca juga: Debat dan Demokrasi
Asvi Warman Adam, Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik BRIN
[ad_2]
Source link