[ad_1]
Begitu yang disampaikan oleh seorang peneliti dari Asia Institute, University of Melbourne, Vedi Hadiz, dalam tulisannya berjudul “The Past is Present in Indonesia’s Presidential Election”, dimuat Melbourne Asia Review pada Selasa (16/1).
Vedi menyoroti calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto yang selalu diserbu pertanyaan tentang catatan hak asasi manusia setiap mencalonkan diri dan ikut serta dalam pemilihan presiden.
Prabowo dikenal sebagai menantu Soeharto, jenderal era Orde Baru yang diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia di berbagai negara seperti Papua, Timor Timur, hingga Jakarta.
Jika dibandingkan dengan capres lainnya yakni Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan yang usianya rata-rata masih 50-an, hanya Prabowo yang memiliki kaitan langsung dengan era Soeharto.
Ganjar yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pernah menjadi pusat gerakan perlawanan terhadap Soeharto hingga tahun 1990-an.
Namun, seiring berjalannya waktu, banyak mantan perwira militer era Orde Baru bergabung dengan PDI-P pada awal Reformasi.
Vedi menilai baik PDI-P maupun partai Golkar yang lekat dengan kendaraan politik Soeharto sudah sulit dibedakan.
“Gagasan keduanya sangat tidak liberal mengenai hubungan negara dan masyarakat. Terjadi kemunduran khususnya di bidang budaya yang kerap digunakan untuk melegitimasi kecenderungan otokratis para pemimpinnya,” tulisnya.
Sementara itu, partai pengusung Anies yakni Partai Nasional Demokrat (Nasdem) disebut Vedi merupakan tempat berlindung bagi kekuatan lama Orde Baru.
“Partai ini dipimpin oleh Surya Paloh, seorang pengusaha era Suharto dan mantan pejabat tinggi Golkar, yang secara historis memiliki hubungan kuat dengan militer,” ungkapnya.
Vedi menyoroti bagaimana Anies naik sebagai Gubernur Jakarta tahun 2017 lalu didukung oleh partai pendukung Prabowo, Gerindra.
Prabowo sendiri dahulunya merupakan saingan utama Presiden Joko Widodo. Namun kini, mereka bersatu karena Prabowo menggandeng Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Jokowi.
Vedi menyimpulkan bahwa meskipun era Soeharti telah jatuh, bayang-bayang kekuasaan, korupsi yang rakus, nepotisme, dan pelanggaran HAM masih menyertai dinamika demokrasi Indonesia.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
[ad_2]
Source link