[ad_1]

tirto.id – Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menghadapi posisi yang dilematis selama Pemilu 2024. Sebagai kader partai politik, ia tentunya diwajibkan untuk mendukung paslon (pasangan calon) parpol tersebut. Namun, jabatannya tidak memungkinkan untuk melakukan kampanye.

Ahok termasuk salah satu tokoh yang dikenal sangat dekat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia adalah Wagub (Wakil Gubernur) DKI Jakarta ketika Jokowi masih menjabat Gubernur DKI periode 2012–2017.

Majunya Jokowi sebagai capres pada Pemilu 2014 bak durian runtuh bagi Ahok. Ia lantas menggantikan posisi Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta pasca terpilihnya eks Wali Kota Solo itu selaku Presiden RI periode 2014-2019.

Situasi saat ini pun berbanding terbalik. Jokowi memang sempat menyatakan bersikap netral pada Pemilu 2024.

Akan tetapi, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming tampil menjadi cawapres paslon nomor urut 2 bersama capres Prabowo Subianto. Banyak kalangan akhirnya meragukan kenetralan Presiden RI lantaran anak kandungnya maju cawapres.

Dilain sisi, Ahok sebagai teman dekat Jokowi mempunyai pilihan lain. Ia sudah menyatakan bergabung dengan salah satu parpol. Mereka mempunyai jagoan sendiri dalam Pilpres 2024 dan tentunya berseberangan dengan kubu Prabowo-Gibran.

Lantas, bagaimana sikap Ahok selama ini? Siapa capres yang didukungnya dalam Pemilu 2024?

Jejak Karier Partai Politik Ahok

Basuki Tjahaja Purnama atau juga dikenal sebagai BTP secara resmii menjadi kader PDIP sejak 26 Januari 2019 alias 2 hari selepas bebas dari penjara di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Menurut eks staf BTP, Ima Mahdiah, Ahok perlu meminta restu terlebih dahulu ke Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan ternyata langsung disetujui.

“Benar dari 26 Januari sudah punya KTA [Kartu Tanda Anggota PDIP]. Masuk atas keinginan sendiri,” ucap Ima, pada Februari 2019.

Dalam beberapa kesempatan, Ahok menjelaskan terkait alasan gabung PDIP dan tidak memilih PSI yang kala itu masih baru.

Lewat acara peluncuran buku “Panggil Saya BTP: Perjalanan Psikologi Ahok Selama di Mako Brimob”, Ahok mengatakan PDIP adalah partai nasionalis besar.

Pemilu 2019 disebut menjadi kesempatan untuk meraih suara terbanyak hingga mendominasi gedung DPR RI. Ia ketika itu menargetkan PDIP bisa mendapatkan suara di atas 33 persen agar berkuasa di parlemen.

“Saya memimpikan PDIP bisa diatas 33%, supaya kuat di parlemen. Jadi saya katakan partai nasionalis tidak terpecah. Kita diskusi panjang dengan mas Djarot (Mantan Wagub DKI) mau ini partai nggak baik orang nggak baik ya semua partai ada orang nya yang masuk penjara,” ucapnya, dikutip CNBC Indonesia.

Di lain sisi, menurutnya partai baru hanya sebatas ucapan saja yang besar dan belum teruji dalam menempatkan wakil di gedung parlemen.

Bagi Ahok, PDIP adalah parpol yang ke-4 kali. Sebelumnya, ia tercatat pernah menjadi kader Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Golkar, serta Gerindra.

Ia bergabung dengan PIB pada 2003 ketika mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Setahun berselang, Ahok maju Pilkada Belitung Timur bersama Khairul Effendi.

Tahun 2007, ia mundur dari Bupati Belitung Timur guna tampil dalam Pilgub Bangka Belitung dan mengalami kegagalan.

Golkar dipakai sebagai kendaraan politik untuk pencalonan anggota DPR RI dari dapil Kepulauan Bangka Belitung pada Pemilu 2009. Ia akhirnya lolos ke Senayan.

Ahok lantas berpaling ke Gerindra di tengah pencalonannya sebagai cawagub DKI Jakarta 2012 bersama Jokowi. Akan tetapi, ia kemudian mundur dari Gerindra ketika Pilgub DKI 2017 setelah disandingkan dengan Djarot Saiful Hidayat.

Pasangan Ahok-Djarot ketika itu maju setelah memperoleh rekomendasi dari PDIP, NasDem, Golkar, dan Hanura.

Dukungan Ahok di Pilpres 2024

Pada 22 November 2019, Basuki Tjahja Purnama (BTP) alias Ahok ditunjuk sebagai Komisaris Utama (Komut) Pertamina atas persetujuan Jokowi. Tak hanya sebagai Komut, Ahok ternyata rangkat jabatan selaku komisaris independen di perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang sama.

“Penetapan Pak Komut (Ahok) juga jadi komisaris independen,” beber Fajriyah Usman, VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero), pada Desember 2019.

“Iya [rangkap], komut dan komisaris indenpenden. Enggak apa-apa. Semua juga bisa rangkap begitu. Jadi itu ada dua. Keputusan pemegang saham,” sambungnya.

Sementara Menteri BUMN Erick Thohir sempat menyebut baik direksi maupun komisaris BUMN tidak boleh terafiliasi dengan partai politik.

“Pasti semua komisaris di BUMN apalagi direksi harus mundur dari partai, itu sudah clear,” ujar Erick.

Sebagai Komisaris Utama Pertamina sekaligus kader PDIP, posisi Ahok cukup dilematis selama Pilpres 2024. Ia secara terang-terangan menyatakan dukungan untuk paslon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang disokong PDIP, PPP, Hanura, dan Perindo.

Sementara jabatannya selaku Komisaris Utama perusahaan berplat merah tidak memungkinkan untuk melakukan kampanye.

Secara pribadi, Ahok merasa ingin ikut kampanye untuk Ganjar. Namun demikian, UU membuat dirinya tidak bisa melakukan hal tersebut. Dirinya juga mengaku tidak mendapatkan tugas untuk kampanye dari PDIP.

Pada November 2023 silam, Erick Thohir mengeluarkan imbauan agar komisaris maupun direksi BUMN yang terlibat dalam kampanye parpol maupun tim pemenangan capres agar mundur dari jabatan.

Perintah Erick lantas diikuti Arief Rosyid. Ia mundur dari jabatan Komisaris PT Bank Syariah Indonesia (BSI) setelah menjadi komandan pemilih muda dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.

Hal senada juga dilakukan Eko Sulistyo (PT PLN) dan Budiman Sudjatmiko (Komisaris Independen PTPN V).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, seorang direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah memang dilarang untuk ikut kampanye.

Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 280 butir (2) yang menyatakan pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan sejumlah pihak, salah satunya adalah komisaris BUMN.

Sedangkan pihak lain yang mendapatkan larangan sama semisal ASN, anggota TNI dan Polri, kepala desa, perangkat desa, ketua-wakil ketua Mahkamah Agung dan Badan pemeriksa Keuangan, serta gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia.

Pelanggaran terhadap aturan tersebut dianggap sebagai tindak pidana Pemilu.

[ad_2]

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *