[ad_1]

Baca Berita Seputar Pemilu 2024

Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.

Kunjungi Halaman Pemilu

Rencana itu dilontarkan Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Eddy Soeparno, dalam wawancara dengan Bloomberg TV, Kamis (15/2/2024). Di situ, Eddy ditanyakan soal sumber dana untuk merealisasikan program makan siang gratis senilai Rp 400 triliun yang jadi ”senjata” andalan Prabowo-Gibran selama kampanye.

Eddy menjawab, cara pertama adalah dengan meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia hingga mengimbangi negara tetangga di kawasan. Kedua, mengurangi subsidi yang tidak terlalu dibutuhkan, seperti subsidi energi yang penyalurannya selama ini kerap salah sasaran.

Baca juga: Janji-janji Populis Bermunculan Jelang Pemilu, Apakah APBN Mampu?

Ia optimistis sumber dana itu bisa didapat dalam waktu 2-3 bulan setelah Prabowo menjabat. ”Saat ini Indonesia punya anggaran subsidi energi Rp 350 triliun. Sebanyak 80 persen dari subsidi itu dinikmati mereka yang tidak berhak mendapatkannya. Jadi, kami akan melakukan penyesuaian (finetune) terhadap subsidi itu,” kata Eddy, dikutip dari tayangan Bloomberg TV.

Ucapan Eddy sontak jadi pembicaraan hangat. Narasi yang muncul di media sosial, Prabowo-Gibran ingin memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan menaikkan pajak. Warganet pun khawatir harga BBM naik, inflasi meroket, dan tarif pajak ke depan lebih mahal.

Sekitar 580 warga kurang mampu dan penyandang disabilitas lintas agama mengikuti Makan Siang Natal yang diadakan Komunitas Domus Cordis di Gedung Judo, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin (25/12/2023).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Sekitar 580 warga kurang mampu dan penyandang disabilitas lintas agama mengikuti Makan Siang Natal yang diadakan Komunitas Domus Cordis di Gedung Judo, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin (25/12/2023).

Saat dihubungi pada Jumat (16/2/2024), Eddy menjelaskan, TKN Prabowo-Gibran tidak ingin memangkas subsidi BBM. Pihaknya hanya mau mengevaluasi pemberian subsidi energi yang saat ini dinikmati masyarakat mampu supaya lebih tepat sasaran. Misalnya, untuk masyarakat miskin, usaha mikro-kecil, dan yayasan kemanusiaan.

Caranya, pertama-tama, dengan menyempurnakan data penerima. Kedua, menyempurnakan peraturan untuk menegaskan kriteria masyarakat yang berhak menerima subsidi energi, lengkap dengan sanksi jika ada yang melanggar.

”Kalau itu dilakukan, otomatis kebutuhan untuk subsidi energi menciut. Dari saat ini Rp 350 triliun, misalnya, setelah dilakukan efisiensi, menjadi hanya Rp 100 triliun. Ini contoh saja. Jadi, konteksnya itu penghematan anggaran subsidi,” ujar Eddy.

Cara lain yang diusulkan TKN Prabowo-Gibran untuk mendanai program makan siang gratis adalah meningkatkan rasio perpajakan alias persentase penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebagai gambaran, pada 2023, rasio pajak RI adalah 10,21 persen, jauh dari level ideal negara berkembang yang sebesar 15 persen.

Pihaknya hanya mau mengevaluasi pemberian subsidi energi yang saat ini dinikmati masyarakat mampu supaya lebih tepat sasaran.

Menurut Eddy, untuk mendongkrak rasio perpajakan, caranya bukan dengan menaikkan tarif pajak. ”Kita lakukan ekstensifikasi pajak. Kita punya 140 juta tenaga kerja, tetapi hanya 30 persen yang punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) karena 70 persen sisanya pekerja informal. Ini perlu disisir. Ini potensi untuk memperluas basis pajak,” kata Eddy.

https://cdn-assetd.kompas.id/52dTCs4Y6TmIsTZh0TUjk_3n0XI=/1024x752/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F15%2F395f1336-b45b-47d1-b4a9-b789e9ec2943_png.png

Kurang tepat

Selama ini, penyaluran subsidi energi, khususnya BBM, sering kali memang tidak tepat sasaran. Pemerintah telah beberapa kali menyoroti hal ini dan berencana mereformasi kebijakan subsidi BBM atauphasing out (pengurangan subsidi BBM secara perlahan).

Data Kementerian Keuangan, pada 2022 sebanyak 80 persen penyaluran BBM bersubsidi jenis pertalite ”lari” ke rumah tangga mampu dan hanya 20 persen yang dinikmati rumah tangga miskin. Sementara untuk jenis solar, sebesar 89 persen dinikmati oleh dunia usaha. Hanya 5 persen rumah tangga miskin, seperti petani dan nelayan, yang memakai solar.

Baca juga: Aturan Subsidi BBM Tepat Sasaran Perlu Kepastian

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, evaluasi penyaluran subsidi energi memang dibutuhkan. Namun, hal itu idealnya dilakukan untuk mendorong masyarakat beralih ke energi bersih dengan harga terjangkau dan penambahan armada transportasi publik. Bukan untuk mendanai janji kampanye populis yang menurutnya tak mendesak.

”Kalau pemangkasan anggaran subsidi energi dilakukan untuk makan siang gratis, itu kurang tepat. Khawatirnya, jika dilakukan terburu-buru, bisa memicu lonjakan inflasi khususnya kenaikan harga bahan pangan,” kata Bhima.

Tampak antrean warga saat akan mengisi bahan bakar minyak di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum di kawasan Kemayoran, Jakarta, Minggu (24/9/2023).
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Tampak antrean warga saat akan mengisi bahan bakar minyak di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum di kawasan Kemayoran, Jakarta, Minggu (24/9/2023).

Menurut dia, pemerintah ke depan perlu ekstrahati-hati dalam mengevaluasi penyaluran subsidi energi dan menguranginya secara perlahan. Tidak terburu-buru seperti gelagat yang ditunjukkan oleh TKN Prabowo-Gibran. Implikasi sosialnya bisa serius mengingat masyarakat menengah-bawah masih sangat bergantung pada BBM dan elpiji bersubsidi.

”Kalaupun subsidi energi saat ini dinikmati kelas menengah, itu tetap akan ada dampaknya ke tekanan pengeluaran transportasi kelompok menengah,” katanya.

Pemerintah ke depan perlu ekstrahati-hati dalam mengevaluasi penyaluran subsidi energi dan menguranginya secara perlahan.

Jika Prabowo-Gibran tetap mau menjalankan kebijakan makan siang gratis, pendanaannya semestinya tidak mengambil dari anggaran belanja rutin seperti subsidi energi. Pemerintah harus punya cara kreatif lain.

”Misalnya, lewat dana dari hasil putusan pengadilan yang sudah inkrah, seperti dana lelang aset BLBI. Opsi lain, mengejar obyek pajak baru seperti penerapan pajak kekayaan (windfall profit tax) untuk perusahaan di sektor komoditas primer,” katanya.

Sementara itu, seperti penyaluran subsidi energi yang perlu dievaluasi, pada prinsipnya, rasio perpajakan pun harus ditingkatkan. Sebab, semakin tinggi nilainya semakin mampu suatu negara melakukan pembangunan dengan sumber daya sendiri tanpa perlu bergantung pada utang.

https://cdn-assetd.kompas.id/kPqkqxy03VPcvre0BnAchqpW8mg=/1024x640/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F06%2F11%2F20210611-H09-ARJ-rasio-pajak-mumed_1623422113_png.png

Namun, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, hal itu tidak perlu dikaitkan dengan program makan siang gratis. Ia menilai program tersebut sebagai kebijakan populis yang tidak mendesak dan hanya akan membebani tata kelola APBN di tengah ruang fiskal yang sempit.

Ketimbang memberi makan siang gratis, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), lebih dibutuhkan peningkatan keterampilan (skill) dan pendidikan, yang pada akhirnya bisa memperbaiki tingkat pendapatan masyarakat. ”Pemerintah harus berpikir jangka panjang, bukan jangka pendek,” katanya.

Serupa, Bhima menilai, program makan siang gratis yang digagas Prabowo-Gibran tidak mendesak. Bahkan, program bantuan dalam bentuk barang seperti itu berpotensi membuka celah modus korupsi, seperti pengadaan fiktif atau mark up pengadaan barang dengan kualitas buruk.

”Target menurunkan stunting itu seharusnya dengan perbaikan pendapatan masyarakat miskin. Upaya menurunkan gizi buruk bukan dengan makan siang gratis, tetapi lewat keterjangkauan harga dan stok pangan di daerah-daerah miskin,” ujarnya.

Baca juga: APBN Janji-janji Populis Bermunculan Jelang Pemilu, Apakah APBN Mampu?

[ad_2]

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *