[ad_1]
- Endang Nurdin
- BBC News Indonesia
Di kaki bukit di luar Kota Kyoto, Jepang, pada suatu sore, seorang pria menutup pintu rolling besi satu bangunan besar dan bergegas memperkenalkan diri dengan senyum lebarnya.
“Saya Rustono, pengusaha tempe di Jepang, saya lahir di Grobogan [Jawa Tengah], saya punya dua pabrik salah satunya di belakang saya.”
Rustono memperlihatkan suasana di seputar pabriknya yang terletak “di tengah pegunungan”, banyak pohon pinus dengan sungai kecil tak jauh dari situ.
“Inilah mimpi kami… Banyak hadiah dari alam. Kayu bisa untuk bakar boiler, air pegunungan untuk proses pembuatan tempe,” katanya sambil menunjuk ke kejauhan sekitar satu kilometer, tempat pabrik tempenya yang pertama.
“Kami produksi 10.000 bungkus [setiap lima hari] dan dikirim ke lebih 1.000 titik di Jepang, meliputi restoran, katering, sekolah untuk makan siang, hotel, toko-toko Asia, orang Indonesia di Jepang, maskapai penerbangan dan masih banyak lagi,” katanya lagi.
Sementara di Kota Meksiko, yang berjarak hampir 12.000 kilometer dari Jepang, seorang perempuan muda bercerita alasannya memutuskan untuk mengolah dan memproduksi tempe.
Dengan penuh semangat, ia mengantar tempe dengan sepedanya ke para pelanggannya di tengah kebisingan dan kemacetan kota terbesar dan terpadat di Amerika Utara itu.
Di kemasan tempe yang diproduksinya ada tulisan berbahasa Spanyol, “Hadiah Indonesia untuk dunia.”
“Saya Luisa Vélez, saya membuat tempe… Saya jatuh cinta dengan tempe ketika pertama kali mencoba di Yogyakarta,” katanya bangga. Luisa ke Indonesia saat itu dalam program Darmasiswa, beasiswa dari Kementerian Luar Negeri.
“Saya ingin orang-orang tahu, bahwa tempe adalah warisan yang datang dari negara indah yang kaya budaya. Saya merasa mendapat kehormatan dapat menyebar makanan Indonesia luar biasa dan bergizi ini.”
Luisa, seorang sarjana nutrisi yang mengaku sudah membuat tempe lebih dari 15 tahun, mengatakan ia belajar membuat tempe dari Rustono.
“Saya terinspirasi dari dia. Rustono menjadi mentor dan mitra bisnis saya… Sejak bertemu dengannya, hidup saya berubah dan saya sangat berterima kasih kepadanya,” kata Luisa lagi.
“Beberapa tahun lalu saya ke Indonesia dengan Rustono. Ada kalimat yang muncul dari hati kami, kata-kata itu adalah tempe adalah hadiah Indonesia untuk dunia. Kata-kata itu tertulis di kemasan tempe kami di Meksiko.”
Luisa adalah salah seorang murid dan mitra bisnis Rustono. Banyak dari mereka yang datang langsung ke Jepang untuk belajar langsung.
Ingin jadi pionir tempe tapi ditolak bertahun-tahun
Perjalanan Rustono sampai memiliki dua pabrik dengan produksi ribuan bungkus tempe, dimulai lebih dari 20 tahun lalu, dengan berbagai kendala dan banyak penolakan.
Banyak yang tak tahu soal tempe, walaupun di Jepang makanan berbasis kacang kedelai cukup banyak, termasuk apa yang disebut natto, cerita Rustono.
Ia mendatangi banyak restoran dan toko-toko sambil membawa apa yang kemudian disebut banyak orang sebagai “bungkusan putih”.
Proses membuat tempe juga memiliki tantangan tersendiri. Ia belum pernah membuat tempe dan sebelumnya bekerja di satu hotel di Yogyakarta.
“Saya telepon ibu untuk menanyakan cara membuat tempe, dan saya coba buat dan kasih ke tetangga, gak berhasil, karena di sini ada empat musim sehingga mempengaruhi pembuatan tempe. Saya cari akal untuk memberi penghangat… Kadang jadi, kadang enggak,” ceritanya terkekeh.
Namun tekadnya sudah mantap untuk membuat tempe. “Saya berpikir bisa menjadi pionir di Jepang.”
Produksi tempe pada tahun-tahun awal tak bisa digunakan untuk menghidupi keluarganya, kata Rustono yang menikah dengan perempuan Jepang dan dikaruniai dua putri.
Ia menyambi di berbagai cafe, perusahaan sayuran, makanan dan juga kerja serabutan termasuk “potong rumput dan mengaspal jalan.”
Memasuki tahun ke delapan membuat tempe, bisnisnya belum juga menghasilkan, namun Rustono malah berpikir untuk memperluas tempat pembuatan tempe dengan memasang “atap dan balok”.
Pada Desember 2005, saat hujan salju, dengan “perasaan terbakar dan semangat meluap untuk meraih mimpi” mereka tetap bekerja. Semangat yang terlihat “aneh dan ganjil” tetap bekerja di luar saat salju turun, diperhatikan seorang wartawan, yang penasaran dan datang dua kali untuk mewawancarainya.
Pertanyaan soal tempe hanya bagian kecil dari artikel wartawan Jepang itu, sisanya berisi usaha Rustono untuk meraih mimpi, termasuk dengan cara nekat tetap bekerja saat salju turun. Namun inilah yang menjadi titik balik.
“Dua hari kemudian, saya dapat telepon dari orang-orang yang menolak saya, meminta dibawakan tempe. Mulai banyak yang order juga,” cerita Rustono menambahkan usahanya mulai menghasilkan pada sekitar 2008.
Ia mendatangi banyak restoran dan membicarakan berbagai kemungkinan menu dengan menggunakan tempe. Dan ada cukup banyak menu baru, kata Rustono, termasuk miso tempe.
Makan tempe, pagi siang malam, namun tak ada yang tahu tempe
Di Meksiko, Luisa mengalami pengalaman sulit serupa.
Setelah pertama kali mencicip tempe goreng – yang semula dia pikir kacang goreng – tempe menjadi menu utamanya, dari sarapan sampai makan malam.
“Saya terkejut dengan rasa yang luar biasa. Saya jatuh cinta dengan tempe, dan sejak itu setiap hari makan tempe untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Setelah kembali ke Meksiko tak ada yang menjualnya dan saya memutuskan untuk membuat sendiri,” cerita Luisa mengawali bisnis kecilnya.
“Saya mulai dari nol, tak punya modal, tapi saya terdorong dan terinspirasi oleh Rustono, untuk memperkenalkan tempe ke orang-orang Meksiko.
Ia mengatakan karena tak ada yang mengenal tempe, membuatnya sulit untuk menjalankan bisnis.
“Tak ada yang tahu tempe, kecuali komunitas orang Indonesia atau orang asing yang pernah ke Indonesia atau orang Eropa atau Amerika Serikat di mana tempa lebih popular. Jadi susah untuk mengembangkan tempe. Karena itu saya perlu waktu sampai tempe dapat menghasilkan.”
Keluarga menjadi andalan finansial untuk membantunya mengembangkan bisnis.
“Pembuatan tempe sangat sulit, perlu kerja keras, banyak malam tanpa tidur, frustasi dan perlu perhatian ke detail. Proses pembuatan makanan ini perlu memperhatikan suhu dan terkadang tak bisa terduga kalau kelembaban berubah,”
“Setiap sen yang saya dapat, saya investasi lagi untuk buat alat, membeli kedelai, sampai akhirnya mulai berkembang dan pelanggan semakin banyak. Jadi makan waktu. Pelan-pelan pendapatan mulai ada,” cerita Luisa bersemangat.
Beberapa tahun terakhr ini, kata Luisa, ia sudah bisa hidup dari usaha tempenya.
“Saat ini, saya dibantu tim saya dalam produksi dan distribusi. Untuk Kota Meksiko, kami naik sepeda untuk mengirim tempe, dan ini membantu mengurangi polusi di kota besar ini. Sanga efisien dan tak terganggu macet.”
Sebagian besar distribusi tempenya di Kota Meksiko, namun pengiriman ke kota dan negara bagian lain semakin naik, katanya.
Jadi apa favorit orang Meksiko dalam mengolah tempe?
“Ada yang dalam bentuk tempe burger, atau dicampur taco [makanan Meksiko] dan dicampur dengan bahan lokal, seperti guacamole. Banyak yang mereka campur dengan resep sendiri karena tempe sangat fleksibel bisa dicampur dengan bahan apapun,” katanya lagi.
Mimpi bersama menyebarkan tempe
Bagi Rustono, si “Raja Tempe” di Jepang, ia masih terus mengejar mimpi-mimpinya yang lain.
Dia bertekad untuk terus memberi pelatihan bagi mereka yang tertarik membuat tempe di negara masing-masing.
Dari banyak muridnya, yang juga tersebar di Rusia, Polandia, Austria, Prancis serta di Asia termasuk China dan Korea Selatan, ia mengaku tak semuanya berhasil.
“Tapi saya tak risau. Saya hanya mencari satu orang di setiap negara yang mau bermimpi bersama saya untuk mempopulerkan tempe di negara masing-masing,” tutupnya.
[ad_2]
Source link