[ad_1]

MALANG benar memang nasib Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Untuk partai yang sudah malang melintang dalam memperjuangkan penguasa, lalu kubu penguasa pada akhirnya juga menang, semestinya PSI menerima ‘bayaran’ elektoral yang setimpal.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Di saat kubu Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming menang telak nyaris 60 persen dan berhasil mengukuhkan target satu putaran, setidaknya begitu menurut hasil sementara real count KPU, PSI justru tidak tertular banyak.

Dikatakan tak tertular banyak karena belum juga menunjukkan tanda-tanda akan melewati batas minimal masuk ke Parlemen. Penikmatnya justru adalah Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat.

Raihan suara PSI, jangankan empat persen, mendekati empat persen saja masih membutuhkan sokongan angka yang tidak kecil. Memang perhitungan suara KPU belum selesai, tapi tren sudah terbentuk.

Sehingga untuk mendapatkan raihan suara dadakan jelang perhitungan suara selesai kemungkinannya juga sangat kecil sekali.

Artinya, harapan untuk masuk gelanggang Parlemen di Senayan kemungkinan besar akan sirna karena tidak melewati ambang batas Parliamentary Threshold (PT) 4 persen.

Berbeda dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang beberapa hari setelah pencoblosan sempat diperbincangkan secara ramai karena belum menyentuh angka 4 persen.

Ketika itu, angka raihan PPP hanya memiliki selisih sangat kecil dari ambang batas, bahkan sudah berada di level 3,9 persen. Artinya, peluang PPP memang sangat besar untuk menembus batas minimal PT karena hanya terpaut sekitar 0,1 persenan.

Sementara PSI masih terpaut jauh, yakni sekitar 1 persenan atau lebih dari sepuluh kali lipat dari selisih PPP untuk mencapai angka PT.

Pun sampai hari ini, saat suara yang masuk ke dalam Sirekap KPU sudah melebihi angka 70 persenan, nyaris tak ada pergeseran berarti atas raihan suara PSI.

Artinya, tren perolehan suara PSI sudah terbentuk dan kemungkinan besar hanya sampai di level itu alias cukup sulit untuk bisa meraih angka lebih dari yang telah diraih hari ini.

Secara nominal-elektoral, nasib PSI memang lebih baik dibandingkan Partai Gelora. Namun secara historis dan kontekstual, kedua partai politik sama sekali berbeda.

PSI lahir di lumbung kekuasaan dengan kebanggaan yang luar biasa sebagai bagian dari kekuasaan di satu sisi dan terbilang berlimpah modal politik untuk menebar pesona ke sana ke mari di sisi lain.

Seperti yang pernah saya bahas di tulisan terdahulu tentang PSI, sejarah PSI ini menjadi pembeda PSI dengan partai politik baru lainnya, yang biasanya cenderung mengambil posisi antitesis terhadap kekuasaan untuk mendapatkan suara.

Baca juga: PSI Memang Beda, Muda tapi Pro-Status Quo

Walhasil, meskipun kecil peluang PSI untuk mendapatkan banyak suara, tapi ceruk pasarnya sangat besar, yakni sebesar pemilih Jokowi di tahun 2014 dan 2019, alias lebih dari separuh jumlah pemilih sah nasional.

Sementara Partai Gelora justru tak memiliki keleluasaan ceruk pasar sebesar itu, karena nyaris semua pemilih nasional mengetahui bahwa Partai Gelora lahir dari rahim Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tapi sama sekali tak dianggap oleh PKS. Nah, masalahnya bagi Partai Gelora, ceruk suara PKS sangatlah terbatas.

Sekalipun Partai Gelora berjibaku mem-branding dirinya sebagai Partai Non Alumni PKS atau Partai Antikemapanan PKS, agak sulit bagi publik Indonesia untuk memaksakan diri menganggap Anis Matta dan Fahri Hamzah bukan bagian dari “lingkungan ideologis” PKS.

Dengan kata lain, partainya memang Partai Gelora alias bukan PKS, tapi stempel ideologis PKS masih menempel kuat di jidat-jidat elite utama Partai Gelora.

Walhasil, Partai Gelora harus berjibaku dengan PKS diceruk pasar yang tak banyak tersebut. Masalahnya, mengajak pemilih PKS untuk berkhianat kepada PKS tidak berbeda dengan mengajak ikan terbang. Sulitnya hampir bisa dipastikan akan kuadrat tiga.

Yang bisa melakukan itu hanya orang-orang dengan kapasitas khusus, yang telah diwarisi segudang narasi perlawanan kepada PKS oleh Fahri Hamzah selama lebih kurang lima tahun kebelakang.

Bahkan terkadang narasi dari Fahri Hamzah hanya cocok untuk dirinya sendiri, yang kebetulan telah terbukti berhasil melawan kepada PKS, baik secara politik maupun hukum.

Apalagi, perlawanan Fahri Hamzah, yang dianggap paling sering muncul ke ruang publik sebagai representasi dari perlawanan Anis Matta kepada PKS, bukanlah merupakan perlawanan ideologis, tapi lebih kepada perlawanan dari orang-orang yang berkategori sebagai orang-orang yang terbuang oleh elite baru PKS.

Walhasil, yang didapat Partai Gelora hanya sekelumit “sempalan” PKS, sebagai gambaran betapa kuatnya ikatan ideologi PKS dengan pemilihnya, sehingga hanya sempalan partai saja yang terbuang.

Nah, dalam kacamata inilah bisa dipahami mengapa raihan suara Partai Gelora hanya seputaran nol koma, karena kira-kira sebesar itulah nominal sempalan PKS jika diakumulasikan secara nasional di dalam “ruangan politik elektoral”.

Dalam kacamata ini pula mengapa hasil perjuangan PSI agak cukup lebih baik dibanding hasil perjuangan Partai Gelora.

Namun, bernasib lebih baik dari Partai Gelora ternyata tak cukup untuk membawa PSI ke Senayan. Karena untuk lebih baik dari Partai Gelora harus minimal menjadi seperti PKS.

Sialnya, tentu dalam komparasi ini PSI sangat tidak sepadan dengan PKS, meskipun sering kali menjadi “lawan ideologis” PKS di berbagai isu.

Artinya, secara intelektual PSI tak punya “kavling” ideologis seperti PKS. PSI mengalir layaknya air yang dituangkan di hamparan, tanpa memiliki saluran tersendiri untuk mengalir.

Jadi karena “posisi” ideologisnya tak jelas, sulit bagi PSI memosisikan dirinya di dalam lautan massa yang sejak puluhan tahun lalu telah terkavling-kavling secara ideologis oleh partai-partai politik.

Mem-branding diri sebagai partai anak muda, tanpa mencari posisi di dalam percaturan ideologis besar yang sedang berseteru, tentu akan membuat para pemilih muda juga mengalami kebingungan politik saat berhadapan dengan kampanye-kampanye dari PSI.

Pasalnya, menyederhanakan pemilih muda hanya kepada kategori “muda” semata justru mempersulit PSI dalam memetakan pasar, padahal pemilih muda Indonesia tidak terlalu dipersatukan oleh solidaritas umur atau ikatan generasional.

Apalagi dari sisi pemikiran dan isu-isu yang dilempar oleh PSI nyatanya tidak pernah benar-benar mengarah kepada pembelahan pemilih muda dari pemilih tua.

Di sisi lain, partai-partai politik lain, rerata partai besar, yang telah mapan secara elektoral juga berjibaku menggaet pemilih muda dengan jejaring organisasi dan underbow partai politik yang jauh lebih solid ketimbang PSI.

Sangat banyak anak muda yang berkibar namanya di pentas nasional melebihi kebesaran nama anak-anak muda di PSI justru bergabung di partai politik besar.

Asumsi sederhananya, partai politik besar bertemu dengan anak muda yang namanya sudah besar akan sangat berpotensi melahirkan hasil yang jauh lebih besar.

Sementara asumsi sebaliknya terjadi jika bergabung dengan PSI, anak muda yang namanya sudah besar sangat berpotensi berbalik arah menjadi kecil ketika bergabung dengan partai sebesar PSI, baik karena postur organisasinya yang masih kecil atau karena gaungnya yang acapkali kontroversial ketimbang produktif.

Nah, dengan ketidakjelasan “positioning” tersebut, PSI memaksakan diri masuk ke dalam “kolam” pemilih Jokowi yang sebenarnya telah terkavling-kavling secara ketat oleh partai-partai politik besar, baik dari sisi ideologi maupun dari sisi solidaritas organisasional.

Walhasil, jika Partai Gelora mendapatkan “sempalan” PKS, maka PSI hanya mendapatkan “makanan sisa” dari partai-partai politik besar yang mendukung Jokowi.

Bahkan saat Jokowi dan Gibran beralih gerbong politik meninggalkan PDIP sekalipun, PSI masih tetap tak mampu mengambil ceruk pasar Jokowi secara maksimal alias tidak sesuai ekspektasi PSI.

Apalagi, langkah PSI mendapuk Kaesang Pangarep secara aklamasi menjadi ketua umum sama sekali tak memberikan “getaran elektoral” yang berarti. Kaesang memang belum pernah berpolitik sebelumnya yang membuatnya belum benar-benar memiliki basis pemilih yang jelas.

Berbeda dengan Gibran Rakabuming Raka, misalnya, yang sudah pernah wara-wiri di dalam PDIP, berlanjut ke pertarungan elektoral di level kota, lalu membuahkan “kursi” Wali Kota Solo, kota di mana Jokowi mengawali karier politiknya.

Perjalanan tersebut membuat publik lebih mudah mengidentifikasi Gibran sebagai “the real” penerus Jokowi.

Sementara untuk mengidentifikasi Kaesang dengan Jokowi rasanya sangat sulit. Bagaimana caranya mengasosiasikan Kaesang dengan Jokowi, lah wong jadi wali kota saja belum, lalu menjadi ketua umum partai yang pada pesta demokrasi pada 2019 lalu justru malah tak lolos ke parlemen sama sekali.

Jadi ada “garis terputus” antara Kaesang dengan Jokowi secara elektoral asosiasional.

Bahkan saat PSI dengan “getol” mengiklankan diri sebagai partainya Jokowi sekalipun, publik nampaknya tidak terlalu terpengaruh.

Karena pemilih Indonesia, meskipun sering dikatakan berpendidikan belum terlalu tinggi, sangat paham untuk membedakan antara Jokowi yang “besar” dengan PSI yang “kecil”.

Jadi secara sederhana publik akan berkesimpulan bahwa kampanye PSI hanya “candaan” putus asa PSI dalam mencari suara.

Sebut saja, misalnya, Jokowi memang secara ikhlas bersedia mengasosiasikan namanya dengan PSI. Namun Jokowi tak bisa mendiktekan pemahaman publik bahwa Jokowi selama ini memang tidak dimenangkan oleh PSI, tapi oleh partai-partai politik besar.

Jokowi pun tentu tidak bisa membantah fakta itu, meskipun tetap bersedia dijadikan sebagai bagian dari simbol-simbol utama PSI.

Bahkan ratusan miliar uang yang kabarnya dihabiskan untuk membayar ratusan ribu spanduk dan billboard yang menceritakan bahwa PSI adalah partai Jokowi, tidak akan mengubah fakta bahwa PSI memang bukanlah partai yang memenangkan Jokowi, baik di pemilihan 2019 maupun 2024.

Sehingga tak salah pula jika pemilih pada akhirnya tidak tunduk pada narasi-narasi tersebut, karena faktanya memang bukan demikian.

Sementara di aras lain, memang ada beberapa pengamat yang berteori atas kekalahan PSI. Menurut mereka, PSI kalah karena terlalu bersifat “kota sentris”.

Boleh jadi pergerakan PSI memang “kota sentris”, tapi menurut hemat saya, itu bukanlah penyebab utama kekalahan PSI.

Karena, jika PSI sampai masuk ke desa-desa, maka PSI bukan saja akan semakin kalah, tapi “bisa-bisa” pengurusnya akan semakin dimusuhi oleh masyarakat di desa, sebagai analogi bahwa di desa pemilihnya jauh lebih kaku dan konservatif ketimbang di kota alias jauh lebih resisten dalam menerima narasi-narasi politik PSI, apalagi menerima kontroversi-kontroversi yang pernah digaungkan oleh PSI.

Secara sosiologis, kota dan desa sangatlah berbeda. Sosiolog Jerman, Ferdinand Tönnies mengategorikannya ke dalam dua kategori, yakni Gemeinschaft dan Gesellschaft.

Di desa pranata sosial masih sangat dihargai dan ikatan batin masyarakatnya masih sangat kuat, sehingga penghargaan kepada tokoh yang dituakan sangat tinggi.

Kehadiran PSI yang acapkali tabrak sana dan tabrak sini hampir bisa dipastikan akan mendatangkan keresahan sosial tersendiri di desa.

Karena itulah analisa soal kota sentris sangat kurang bisa dijadikan alasan kekalahan PSI. Di kota saja tak mendulang suara, apalagi di desa yang lebih ketat etika sosial dan pakem budayanya toh? Dengan kata lain, ekspansi PSI ke desa tidak akan menjadi kunci kemenangan.

Jadi, nasib PSI memang bukan ketiban sial semata, tapi juga kurang mumpuni dalam memosisikan diri di dalam “kolam” pemilih Jokowi yang sangat besar.

Sehingga strategi dan taktik yang diturunkan dari kesalahan dalam memosisikan diri tersebut juga kurang efektif secara elektoral.

Walhasil, mau tak mau PSI harus rela menerima “sisa makanan elektoral” partai-partai politik besar yang mendukung Jokowi.

Pendeknya, meskipun PSI telah mendapuk Kaesang sebagai Ketum, lalu mengobral nama Jokowi ke sana ke mari, baik dalam narasi spanduk, di dalam billboard, dan di dalam iklan TV, sembari membakar begitu banyak uang politik untuk itu semua, hasilnya, sebagaimana telah kita saksikan, untuk impas pun bagi PSI rasanya sulit, apalagi untung.


Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

[ad_2]

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *