[ad_1]

https://cdn-assetd.kompas.id/q8sG2PEbZGuOREeqMXS2sDFW52E=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F15%2F08da6c64-4513-4d64-87c8-b1d84f34db8c_jpg.jpg

Sudah bukan rahasia lagi jika perkembangan teknologi memengaruhi bagaimana pembuatan peraturan mengenai teknologi tersebut. Kegaduhan antara hukum dan perkembangan teknologi pernah beberapa kali terjadi. Contohnya saat aplikasi ride-hailing yang menghubungkan antara pelanggan dan penyedia jasa mengangkut orang menimbulkan polemik di masyarakat.

Awalnya Kementerian Perhubungan mengeluarkan pengumuman untuk melarang ojek daring (online). Alih-alih menyelesaikan polemik, larangan tersebut justru menimbulkan banyak pertentangan sehingga menarik perhatian Presiden Joko Widodo.

Situasi lain mengenai kejar-mengejar hukum dan teknologi juga terjadi saat situs jual-beli (e-commerce) berkembang di Indonesia. Permasalahan konten ilegal menjadi prioritas. Jangan sampai konten yang tidak sesuai dengan norma masyarakat muncul pada platform e-commerce.

Di situasi ini, teknologi situs jual-beli sudah ada terlebih dahulu hingga memerlukan intervensi dari pemerintah untuk mengatur konten ilegal yang tersebar di situs e-commerce. Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2016 menjadi instrumen pilihan saat itu.

Baca juga: Hukum Dituntut Mampu Mengikuti Perkembangan Ruang Siber

Selain itu, masifnya penggunaan data pribadi masyarakat juga menjadi salah satu isu penting di era digital. Kebutuhan mengenai peraturan tentang perlindungan data pribadi adalah prioritas utama. Hingga akhirnya tahun 2022 Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi diterbitkan walaupun kebocoran data tercatat sudah terjadi sejak 2019.

Beberapa kejadian di atas menunjukkan sampai kapan hukum akan gagap dengan perkembangan teknologi. Apakah hukum harus selalu tertinggal dengan teknologi?

Para pakar dan akademisi di bidang hukum dan teknologi informasi menjadi pembicara dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi I DPR untuk membahas Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (1/7/2020).
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para pakar dan akademisi di bidang hukum dan teknologi informasi menjadi pembicara dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi I DPR untuk membahas Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (1/7/2020).

Respons pemerintah

Sulit untuk mengatur sesuatu yang belum ada. Hal tersebut adalah salah satu hubungan yang menentukan respons perumusan hukum terhadap teknologi. Moses (Bennett Moses, 2007) mengatakan bahwa ketertinggalan hukum atas teknologi dapat dilihat sebagai sesuatu yang wajar. Hal ini karena munculnya teknologi baru dapat mengubah norma, bentuk tindakan, dan cara berpikir masyarakat.

Sering kali teknologi perlu digunakan terlebih dahulu untuk mengetahui pengaruhnya terhadap masyarakat. Sebagai contoh, peraturan mengenai penggunaan dokumen elektronik sebagai bukti di pengadilan memerlukan penggunaan komputer secara masif terlebih dahulu.

Walaupun tidak seluruh teknologi dapat memberikan perubahan sosial di masyarakat, tetapi saat perubahan tersebut sangat cepat dan berdampak besar, kemampuan hukum untuk mengikuti akan dipertanyakan.

Hal ini tentu menjadi masalah jika perkembangan teknologi menjadi masif dan cepat seperti yang terjadi saat ini. Industri 4.0 yang diawali dengan munculnya internet mendorong teknologi berkembang pesat. Penetrasi internet di dunia juga mendukung munculnya banyak teknologi baru yang dapat digunakan secara masif. Situasi ini yang dihadapi oleh pemerintah.

Sebenarnya pemerintah telah berusaha memberikan respons positif yang patut diapresiasi. Dukungan atas perkembangan teknologi juga ditunjukkan dengan berbagai instrumen hukum yang diterbitkan.

Walaupun tidak seluruh teknologi dapat memberikan perubahan sosial di masyarakat, tetapi saat perubahan tersebut sangat cepat dan berdampak besar, kemampuan hukum untuk mengikuti akan dipertanyakan.

Walaupun demikian, akibat dari cepatnya perkembangan teknologi, fleksibilitas pembuatan peraturan tertulis yang mengikat menjadi terbatas. Salah satu instrumen yang kerap digunakan adalah surat edaran sebagaimana yang beberapa kali dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Beberapa surat edaran yang pernah diterbitkan dan cukup signifikan adalah Surat Edaran Kemenkominfo Nomor 5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Merchant Electronic Commerce (saat konten ilegal bermunculan di platform e-commerce). Terakhir yang terbit adalah Surat Edaran Menkominfo Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial (saat kecerdasan artifisial mulai digunakan di Indonesia).

Perlu dipahami bahwa surat edaran bukan termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Fungsi surat edaran adalah untuk memberikan penjelasan atas hal-hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.

Surat edaran cukup fungsional dalam menjawab isu perkembangan teknologi. Pertama, memberikan penjelasan paling baru atas permasalahan yang ada di masyarakat. Kedua, untuk menunjukkan pendirian pemerintah atas sebuah isu.

Ketiga, surat edaran menjadi dasar arah pembentukan instrumen perundang-undangan seperti yang terjadi saat pembuatan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 20220 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Walaupun demikian, apakah kita harus selalu merespon dengan surat edaran?

Kementerian Komunikasi dan Informatika mengancam akan memblokir perusahaan aplikasi Whatsapp, Instagram, Facebook, dan Google. Pemblokiran dilakukan jika perusahaan teknologi itu tidak mendaftar sebagai penyelenggara sistem elektronik lingkup privat selambatnya 20 Juli 2022.
KOMPAS

Kementerian Komunikasi dan Informatika mengancam akan memblokir perusahaan aplikasi Whatsapp, Instagram, Facebook, dan Google. Pemblokiran dilakukan jika perusahaan teknologi itu tidak mendaftar sebagai penyelenggara sistem elektronik lingkup privat selambatnya 20 Juli 2022.

Metode pembuatan peraturan

Untuk menghadapi perkembangan teknologi, terutama perkembangan teknologi digital, perlu untuk melihat bentuk yang pas agar dapat membuat instrumen hukum yang dapat mengakomodir perkembangan (future-proof). Pembuatan instrumen seperti surat edaran tidak bisa selalu menjadi solusi.

Dilema akan dihadapi terus-menerus oleh para pembuat peraturan untuk dapat mengikuti perkembangan. Teknik pembuatan peraturan secara konvensional perlu dikembangkan agar tidak memberikan dampak negatif terhadap perkembangan teknologi tersebut.

Pertama, penting bagi pembuat peraturan untuk memiliki tujuan dan strategi yang jelas untuk merespons masuknya teknologi baru (Coglianese, 2021). Hal ini dapat diwujudkan dengan membuat panduan teknis berdasarkan beberapa hal, seperti etika, tanggung jawab (liability), dan risiko, merujuk pada skema perkembangan teknologi selama ini.

Panduan teknis sangat berguna saat intervensi melalui peraturan diperlukan untuk mengakomodir perkembangan teknologi. Harapanya, pembuatan peraturan dapat dilakukan dengan cepat dan akurat.

Baca juga: Lemahnya Kedaulatan Digital

Kedua, melihat teknologi dan hukum sebagai kesatuan yang saling mendukung satu sama lain. Alih-alih fokus untuk mengatur secara tertulis untuk mencegah akibat negatif dari penggunaan teknologi, pendekatan tersebut dapat memberikan ruang bagi kedua aspek untuk membuat peraturan yang melindungi pengguna teknologi (Lessig & Lessig, 2006; Schrepel, 2022).

Contoh paling mudah adalah penggunaan kode pemrograman (code) sebagai bahasa komputasi untuk mengatur norma yang boleh atau tidak dalam penggunaan teknologi. Aplikasi media sosial X menambahkan label jika sebuah konten terindikasi hoaks. Peraturan tertulis dapat fokus mengatur norma umum yang akan diterjemahkan dalam bahasa pemrograman.

Ketiga, penting untuk memahami bahwa kebaruan dari teknik pembuatan perundang-undangan saja tidak cukup, pemerintah membutuhkan sistem yang baik untuk merespons perkembangan teknologi. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri. Keterlibatan lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha akan sangat penting untuk memberikan pandangannya dari waktu ke waktu (Bennett Moses, 2007).

Bahkan, di era ini, keterlibatan orang yang tepat bisa menjadi solusi utama dalam menjawab permasalahan perkembangan hukum dan teknologi (Coglianese, 2021). Transparansi dan inklusivitas adalah aspek penting untuk mewujudkan hal ini.

Tahun 2024 harus menjadi periode penentuan arah kebijakan Indonesia untuk menghadapi perkembangan dan perubahan teknologi di dunia. Peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan untuk memastikan perkembangan dan penggunaan teknologi yang beretika, adil, dan aman.

Fachry Hasani Habib, Dosen Hukum di Sekolah Hukum dan Studi Internasional Universitas Prasetiya Mulya

Fachry Hasani Habib
ARSIP LINKEDIN

Fachry Hasani Habib

[ad_2]

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *